(24) Kotak Musik

1.2K 237 20
                                    

H A P P Y    R E A D I N G !

________________________

Aldebaran ikut tersenyum simpul begitu melihat Ferdinand yang sudah mulai nampak yakin dengan keputusannya. Ia jadi teringat sesuatu yang sebenarnya ingin ia ceritakan di pertemuan itu juga.

"Pak..." Panggilnya dengan tersenyum tipis. Ferdinand menyambut panggilan itu.

"Sebagaimana Anda meyakini bahwa saya adalah orang baik, saya juga punya keyakinan yang kuat bahwa Anda juga sejatinya adalah orang yang baik." Mendengar penuturan Aldebaran, Ferdinand terkekeh.

"Konon katanya setiap orang memang terlahir menjadi orang baik. Tapi dosa-dosa yang dia lakukan selama proses di hidupnya yang membuat kebaikannya pudar dan menjadi manusia yang amat buruk. Itulah gambaran bagaimana saya. Tetapi kamu, saya yakin bukan orang yang akan membiarkan kesalahan berlarut-larut."

"Saya harap juga begitu, Pak." Balas Aldebaran, tersenyum simpul.

"Tapi ada satu hal yang perlu Anda tahu. Saya adalah salah satu orang yang pernah menerima kebaikan dari bapak." Ungkap Aldebaran membuat dahi Ferdinand mengerut.

"Mungkin Anda lupa, karena itu sudah lama sekali."

"Dulu, saat saya masih kecil saya pernah ketakutan pulang saat malam hari, bahkan hampir tersesat. Tapi lampu mobil Anda menyilaukan saya. Anda datang ke saya, bertanya, dan membuat saya merasa sedikit tenang karena saya tidak sendiri." Pemaparan Aldebaran membuat pria setengah tua itu tampak memutar memori ingatannya lagi ke belakang.

"Anda menolong saya dan mengantarkan saya pulang. Anda begitu baik kepada saya saat itu." Ferdinand tersenyum lebar, terlihat telah mengingat sesuatu yang dimaksud.

"Oh Tuhan, saya ingat. Jadi anak kecil itu sudah tumbuh dewasa, dan dia adalah kamu?" Ferdinand nampak takjub dan tidak percaya. Aldebaran tersenyum, lalu memberikan sebuah anggukan.

"Astaga, dunia benar-benar sempit, ya." Tutur Ferdinand sambil tertawa, membuat Aldebaran ikut terkekeh.

"Jadi, sejak kapan kamu pindah ke Jakarta? Bukannya waktu itu kamu tinggal di Bogor?" Tanya Ferdinand.

"Sejak saya lulus SD, kebetulan Papa mengambil posisi komisaris di ARTMedia Grup. Dia sudah jarang sekali menerima tugas ke luar negeri dan memilih untuk stay di Jakarta. Semua itu juga karena mengingat kondisi saya yang kurang baik pada saat itu." Aldebaran sedikit terkekeh, sementara Ferdinand menatapnya lekat.

Ferdinand ingat, setelah pertemuan mereka di malam itu, di hari berikutnya ia bertemu lagi dengan bocah lelaki itu di rumah sang oma. Ia sempat mengobrol dengan wanita setengah tua yang masih terlihat cantik, membicarakan mengenai Aldebaran kecil. Bocah laki-laki yang pada saat itu memiliki tatapan kosong dan suka menyendiri, yang ternyata menyimpan cerita kelam di hidupnya. Ferdinand tahu itu.

"How do you feel, now? Better?" Tanya Ferdinand, kembali mengundang senyuman simpul pria itu.

"Much much better." Jawabnya, lugas. Mendengar jawaban itu membuat Ferdinand tersenyum lega.

"Syukurlah."

"Oma kamu apa kabar?"

"Oma masih sehat sampai sekarang. Dia masih tinggal di Bogor ditemani dua orang asisten rumah tangga disana. Oma tidak mau diajak ke Jakarta. Katanya, dia ingin menghabiskan masa tuanya di kampung halaman saja."

"Yeah, I see."

"Anda sendiri bagaimana, Pak? Kenapa memutuskan untuk tinggal di Kuala Lumpur?" Kali ini Aldebaran yang kembali melontarkan pertanyaan.

Forever AfterHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin