(53) Email: Jakarta - New York

1.3K 309 31
                                    

N E X T    Y U K K !

________________________________

"Iya. Al bilang dulu dia pernah ditolong oleh papa kamu saat dia sedang tersesat di jalan. Selain itu, waktu kecil dulu Al juga pernah melihat Pak Ferdinand yang menjemput kamu di rumah nenek kamu waktu itu." Kata Damar bercerita.

"Ohh, begitu ya, Om." Andin seakan kehabisan kata-kata.

Sekebetulan itu kah mereka?

"Iya, Andin."

"Dan kamu tahu? Malam sebelum keberangkatannya kemarin, dia baru cerita ke om kalau gadis kecil itu adalah kamu. Itulah kenapa akhirnya om mengerti, betapa Al sangat mencintai kamu. Kamu adalah malaikat kecilnya yang dulu begitu ia tunggu, namun tidak pernah datang lagi." Lanjut Damar bercerita.

"Bahkan saat kami akan memindahkan Al dan Roy kembali ke Jakarta, Al bersikeras ingin tetap tinggal di Bogor. Dia bilang, dia ingin menunggu temannya yang pada saat itu tidak pernah ia tahu namanya. Tapi saat Om mengatakan, barangkali kalian bisa bertemu lagi di Jakarta, Al pun akhirnya mau." Andin tersenyum simpul dengan rasa haru. Ternyata Tuhan memang menakdirkan mereka untuk kembali bertemu meski dengan jarak yang begitu lama. Apakah itu sebuah pertanda baik?

"Kalau mengingat bagaimana pertemuan kalian sejak kecil, Om merasa dunia ini lucu. Ada saja hal-hal unik terjadi yang seringkali di luar kemampuan manusia menerka. Kalian bertemu dalam suatu kondisi, saling mengenal, saling membantu, lalu kemudian berpisah karena suatu keadaan. Dalam rentang waktu itu, kalian mengalami banyak hal, kejadian membahagiakan, rasa sedih, kecewa, takut, kehilangan, dan segala perasaan yang umumnya dialami oleh manusia. Lalu setelah semua yang terjadi, Tuhan kembali mempertemukan kalian berdua dengan kondisi yang sudah berbeda. Kalian berdua sudah mengantongi fase pendewasaan kalian masing-masing. Mungkin sekarang sudah saatnya kalian menjalani fase berikutnya bersama-sama."

Mata Andin tiba-tiba terasa panas. Perkataan Damar membuat perasaan Andin sungguh campur aduk. Ada perasaan haru, bahagia, namun seakan masih tak percaya. Ternyata di antara pekatnya hidup yang selama ini ia jalani, Tuhan masih menyisakan satu cahaya terang yang dibawa oleh sosok laki-laki yang bernama Aldebaran. Matanya tampak berkaca-kaca.

"Lalu, bagaimana soal papa kamu?" Damar mencoba mengganti topik pembicaraan mereka. Andin menggelengkan kepalanya dengan perasaan bingung. Benar. Andin belum tahu keputusan apa yang ingin ia lakukan pada sang papa.

"Apa kamu akan menemuinya?" Tanya Damar, lagi.

"Aku bingung, Om. Sebenarnya, aku mau memberikan papa kesempatan, tapi aku bingung harus memulainya dari mana."

"Kenapa harus bingung? Kamu bisa mendatangi apartemennya kalau kamu mau. Saya bisa meminta Tommy untuk mengantarkan kamu kesana. Dia tahu tempatnya." Ujar Damar. Andin tampak menyimpan keresahan dari tatapan matanya.

"Tapi Om tidak mau kamu datang dengan terpaksa. Kamu bisa meyakinkan hati kamu dulu." Ucap Damar, tersenyum.

"Papa kamu mungkin sudah banyak melakukan kesalahan. Dia banyak kurangnya. Tidak ada sosok ayah yang bisa menjadi sempurna. Tapi walau bagaimana pun, dia tetap papa kamu. Dialah yang sejak kamu lahir ke dunia menjadi figur ayah dalam keluarga kalian. Memaafkan mungkin bukan sesuatu yang mudah, Om tahu itu. Tapi dengan memaafkan, perasaan kita akan menjadi lega. Sebuah penerimaan itu akan membuat hati kita menjadi lapang menerima apapun kejadian yang sudah Tuhan takdirkan untuk kita. Om tahu kamu memiliki hati yang besar, Andin." Ungkap Damar sambil mengusap pundak gadis itu.

Tatapan pria di depannya itu menyiratkan sebuah keyakinan yang coba ia salurkan pada Andin. Andin menangkapnya dengan baik. Gadis itu tersenyum simpul, seolah meng'iya'kan. Mungkin benar, sudah saatnya ia menatap masa depannya tanpa rasa benci, tanpa terus memelihara rasa kecewa. Andin optimis, ia memiliki masa depan yang indah bersama kekasihnya. Namun sebelum itu, tahapan memaafkan dan penerimaan itu harus ia lalui lebih dulu.

Forever AfterWhere stories live. Discover now