Chapter 9

44.5K 2.6K 164
                                    

Setelah melalui perdebatan panjang antara Jenna dan Niall yang tidak berujung tersebut, pun Kelvin mengusulkan untuk pulang dan membicarakan hal itu nanti di frat. Agar lebih nyaman dan private. Setidaknya, tidak di tonton banyak orang.

Bukan hanya Niall yang merasakan keganjalan dengan sikap Jenna yang melupakan siapa sosok Niall, Kelvin pun merasakan hal yang sama dengan Niall. Sempat terbesit rasa khawatir pada diri Kelvin, namun dengan cepat Kelvin membuang jauh-jauh rasa khawatir itu.

Wajar jika Jenna melupakan Niall, mereka sudah berpisah sejak lima tahun lamanya.

Pikir Kelvin saat itu.

Namun tetap saja, keganjalan itu masih bersarang di benak Kelvin. Juga, Niall. Dan bahkan, Harry.

“Jen, kau lihat foto-foto ini? Ini foto saat kita merayakan pesta kelulusan saat di sekolah dasar. Kau ingatkan? Kau menjadi pasanganku saat drama Romeo dan Juliet.” kata Niall seraya memperlihatkan beberapa fotonya bersama Jenna dulu. Niall tetap gigih untuk mengingatkan Jenna akan siapa dirinya. Bahkan selama di perjalanan pun Niall terus mengoceh—berusaha untuk meyakinkan dan mengingatkan Jenna bahwa dia memanglah sahabat kecil Jenna dulu.

Jenna mengamati satu-persatu foto tersebut. Jenna memejamkan matanya sesaat, mencoba mencari sekelebat ingatan pada lima tahun lalu, dimana—yang kata Niall, dia menjadi Juliet saat perayaan kelulusan sekolah dasar.

Namun, sekuat apapun Jenna mengingatnya dan sekuat apapun Niall untuk membuat Jenna kembali mengingatnya, nyatanya, Jenna tak kunjung mengingat sedikitpun memorinya tentang Niall. Sama sekali tidak ada.
Yang dia tahu, Niall adalah orang asing yang baru saja ia temui tadi.

“Kau tidak ingat?” Niall menghembuskan napas panjangnya, bahunya merosot ketika Jenna hanya berdiam diri. Niall menyenderkan tubuhnya ke sofa, lalu menatap Kelvin. Seperti meminta penjelasan pada Kelvin, namun Kelvin hanya menggeleng.

“Maafkan aku. Aku benar-benar tidak mengingatmu. Tapi, kita bisa menjadi teman sekarang.” kata Jenna, Niall diam tak menggubris pernyataan Jenna. Dia masih kecewa, sedikit.

“Jen, besok pertunangan Zayn. Kau ikut?” tanya Kelvin mencairkan keheningan yang sempat menyelimuti mereka.

Jenna mengendihkan bahunya acuh, “Tidak tahu.”

“Jen, kau harus menemaniku. Dan, aku tidak mau datang seorang diri. Aku merasa tidak enak jika kita tidak datang. Bagaimanapun, dulunya kita sangat akrab dengan Zayn. Dan keluarganya.”

Jenna melirik Harry dengan ekor matanya. Benar saja, saat Kelvin membawa nama Zayn dalam pembicaraan kami—Harry langsung memasang earphonenya dan memainkan ponselnya. Padahal sebelumnya Harry mengamati Jenna dengan Niall berdebat.

“Aku tidak tahu, Kelv.” balas Jenna, “Lagipula, aku tidak sanggup berada disana. Dia mantanku. Gila saja jika aku datang di acara pertunangannya.” sambung Jenna, sedikit sarkastik.

“Kau masih menyimpan rasa untuk keparat itu? Seharusnya jika tidak, kau bisa saja datang ke acara itu. Agar keparat itu tahu bahwa kau sudah berhasil bangkit dari keterpurukan yang ia buat dulu,” Harry angkat bicara sejak sedari tadi bungkam, Jenna menatap Harry bingung, “Kau mau jika dia menganggapmu masih mencintainya? Sangat tidak elegant jika kau masih mencintainya disaat dia sudah hampir terikat secara resmi.”

Jenna berusaha mencerna ucapan Harry. Sebenarnya Jenna tidak tahu apakah dia masih mencintai Zayn apa tidak. Yang jelas, rasa cintanya tidak sebesar dan sedalam dulu. Karena, sekarang—seperti yang kita ketahui, kini cintanya telah terbagi. Dan, mungkin cintanya ke Harry melebihi cintanya kapada Zayn.
Tunggu? Cinta? Zayn?
Bahkan, Jenna pun tidak tahu kalau ia masih cinta atau sayang atau hanya sedekar suka pada Zayn. Semuanya sulit di tebak.

Alzheimer DiseaseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang