Chapter 39

24.2K 1.6K 150
                                    

Sekedar mengingatkan kalau ini masih Harry's Pov.

***

Pukul sepuluh malam, aku mengintip ke kamar Jenna untuk yang kesekian kalinya. Hanya untuk memastikan kalau-kalau gadis itu masih terlelap di alam mimpinya. Dengan gerakan yang sepelan mungkin, aku berdiri di salah satu sisi ranjangnya. Menatap lurus-lurus gadis yang sedang tertidur menelungkup seperti kura-kura. Wajahnya nyaris tertutupi rambut panjangnya.

Rasa-rasanya aku ingin memindahkan posisi tidurnya agar lebih nyaman, aku hanya takut dia akan sesak napas jika posisi tidurnya seperti itu. Tapi berhubung sekarang Jenna sangat susah untuk tidur malam, jadi aku memutuskan untuk membiarkan posisi tidurnya seperti itu.

Semoga saja ia tidak sesak napas, nantinya.

Dengan amat pelan, aku menarik selimut yang ia impit dengan kedua kakinya, lalu menyelimuti badan rapuh gadis itu. Tidak lupa, sebelum aku keluar dari kamarnya, aku mengecilkan suhu pendingin ruangan dan memberikannya kecupan singkat di puncak kepalanya.

Aku berjalan gontai menuju kamarku, yang letaknya di sebelah kamar Jenna. Sebenarnya ini bukan kamarku, ini kamar tamu. Berhubung aku tamu di rumah ini, maka kamar ini secara sah atau tidaknya menjadi milikku.

Mendaratkan bokongku di atas ranjang, pun aku mengurut pelan batang hidungku yang sepertinya membengkak hebat karena kenyataan baru yang aku alami. Keadaan sekarang, benar-benar berbanding terbalik. Jenna layaknya seorang anak bayi raksasa yang baru terlahir kembali, tanpa sepotong ingatan. Apa ada cobaan yang lebih miris daripada ini?

Namun rasanya, untuk menyesalpun sudah tidak ada gunanya. Semuanya telah terjadi dan tidak dapat diubah segampang aku berkedip. Semua butuh proses, yang tentunya memakan waktu yang cukup lama. Dan mulai sekarang, nampaknya aku harus menghargai suatu proses, bukan lagi menikmati apa yang sudah tersedia.

"AAAAAA!!"

Sepertinya karena kelelahan aku mengalami halusinasi yang berlebihan. Aku baru saja mendengar jeritan seseorang yang jelas-jelas hanya aku seorang diri yang berada di ruangan ini.

"ARGHH!! MEN--JAUH DA--RIKU!!"

'Kan sudah aku bilang kalau ak--ASTAGA ITU SUARA JENNA!

Dengan cepat aku meloncat dari kasur, langkah besar-besarku bekerja dengan cepat, seolah-olah dibelakangku ada kematian yang siap meleburkanku jika saja aku lamban barang sedetikpun.

Aku membuka pintu kamarnya dengan perasaan khawatir yang membuncah, bulir-bulir keringat membasahi pelipis dan dadaku. Aku melihat dia sedang mengkerut di dinding ranjangnya, kedua kakinya ia tekukkan dan terlihat bergetar. Belum lagi wajah yang tadinya sangat damai, kini berubah drastis. Wajahnya memerah dilumuri air mata yang merebak.

Dengan sigap aku langsung membawanya ke pelukanku, mengerahkan seluruh anggota tubuhku untuk melindungi dia yang sedang berada di dekapanku. Ia terisak hebat, punggungnya bergetar dan ia terus-menerus menendang pahaku dengan kedua kakinya.

"Tenang, Jen. Tenang! Aku ada disini, aku tidak akan menyakitimu. Aku ada disini, dan aku akan melindungimu." meski ia terus menendangku, aku tetap memeluknya, mempererat pelukanku dan berulang-ulang kali membisikkan kalimat itu di telinganya.

"Percaya padaku..." aku berbisik lirih, hampir putus asa karena aku tidak tahu bagaimana cara untuk menenangkannya lagi. Ia terus-terusan saja meronta terisak-isak dipelukanku.

"Shhh.." ia berdesis kelelahan, pergerakannya mulai melamban dan akhirnya ia membeku di pelukanku. Hanya terdengar sisa isakan tangisan dan juga dadanya yang naik turun.

Aku melepaskan pelukanku, menangkup kedua pipinya dan menghapus air mata yang merebak di wajahnya. Aku memberikan tatapan seteduh mungkin padanya agar ia tidak merasa terintimidasi.

Alzheimer DiseaseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang