Chapter 21

32.8K 1.9K 73
                                    

-Harry's POV-

Sumpah demi matahari dan bintang, jika saja aku memiliki sembilah pedang yang tajam dan pandai menggunakannya, pasti tadi aku sudah menebas kepala petinggi Xtc tersebut yang aku yakini tidak mempunyai sebongkah hati. Atau mungkin hatinya tertinggal di suatu tempat yang entah dimana sampai-sampai ia berniat untuk mengeluarkan salah satu pelajarnya yang jelas-jelas sebentar lagi akan lulus. Menyebalkan? Memang, aku tahu itu.

Aku terdiam beberapa saat, sepertinya seluruh stok kosa kataku lenyap begitu saja ketika aku masuk ke dalam mobilnya dengan dia di sampingku. Aku tidak tahu harus menjelaskan kepadanya bagaimana awalnya dan aku juga yakin ia akan sulit mengerti meski jika ia mengerti pun pasti akan merobek kulit permukaan hatinya. Aku tidak tega.

Aku menoleh ke sisi kiri, mendapatinya sedang memejamkan mata di kursi penumpang, peluhnya berceceran padahal pendingin mobil ini sudah di hidupkan, "Jen.."

Kulihat ia membuka kedua matanya, menyesuaikan cahaya yang masuk kemudian menoleh padaku, "Ya?"

"Biar kutebak, kau tidak meminum obat itu hari ini, bukan? Ya, aku benar. Lalu kau memaksa ingatan masa lalumu, bukan? Ya, aku benar lagi." aku menghembuskan napas panjangku, menatapnya yang sedang kebingungan saat ini, "Kau terlalu keras kepala sehingga aku ingin sekali mengganti kepalamu dengan kepala yang lain, kau tahu."

"Aku tidak melakukan itu." Ia membantah, menegakkan posisi duduknya kemudian menatapku lagi.

"Lalu apa? Kau tidak bisa berbohong padaku."

"Aku tidak berbohong pada--" ia terpaku pada tatapan yang kuberikan beberapa saat, lalu ia menghembuskan napas jengahnya dan sedikit mendengus, "Baiklah, aku melakukannya."

Aku mengangkat kedua sudut bibirku keatas, lalu menarik tubuhku agar menyandar di jok pengemudi, "Kau tahu, aku mendapat banyak pelajaran sewaktu aku terbaring dengan menyedihkan di rumah sakit itu," aku memejamkan mataku, "Salah satunya kau."

"Aku?" ia menyahut cepat, dan dapat kutebak ia pasti sedang membulatkan matanya dengan tampang wajah yang konyol. Haha.

"Ya." aku tertawa mendengus sejenak, masih memejamkan mataku. Seolah aku sedang menikmati setiap rasa sakit dari luka-luka sialanku yang tiba-tiba saja menerjamku saat ini. Persetan dengan siapapun yang menabrakku, ia berhutang nyawa padaku. Andai saja aku seorang psikopat, pasti aku akan membunuhnya dengan cara yang paling sadis lalu ia akan mati dengan tragisnya. Ya, seandainya aku psikopat. Salahnya aku hanyalah Harry.

"Harry."

"Hm?"

"Kita harus menemui dokter Lave, ingat?"

Aku membuka mataku, menatap lurus-lurus jalanan raya yang terlihat teratur lancar disana, dengan tidak berdosanya aku menghiraukan ucapannya, "Jen, aku baru saja menemui petinggi Xtc, Emma."

Keningnya berkerut, memandangku dengan tatapan seperti ayolah-jelaskan-padaku-apa-yang-terjadi. Tapi nyatanya aku hanya diam. Sumpah tadi itu aku kelepasan, kata-kata itu mengalir begitu saja tanpa bisa aku cerna terlebih dahulu. Sial.

"Harry?" ia menekan suaranya, ia menuntut rupanya. Dan sungguh sial, karena aku harus memikirkan bagaimana cara untuk menjelaskannya.

"Kau tidak menuruti apa yang aku perintahkan, bukan? Kau tidak masuk sekolah lagi, benar? Ya, aku benar lagi. Tiga point untukku." Aku mendengus.

Aku melihatnya sedang tertunduk. Mungkin ia sedang merenungi kesalahan-kesalahannya saat ini. Sumpah ia sangat bodoh sampai-sampai aku ingin menjual otaknya dan membeli otak yang baru. Agar ia dapat berpikir, bahwa apa yang selalu ia lakukan itu, memiliki dampak yang buruk bagi dirinya sendiri.

Alzheimer DiseaseWhere stories live. Discover now