Chapter 19

32.6K 2.1K 485
                                    

HAY! Chapter 19 akhirnya terpublish setelah sekian lama dianggurkan kayak cucian kotor/garing/
Fyi aja, di chapter ini mungkin bakal jadi Jerry aka Jenna Harry moments, yay! Santai-santai aja dulu sebelum menjelajahi konflik berikutnya!;)

Enjoy!

"Kau mau kemana?" Niall memperhatikan Jenna yang sedang sibuk mengemasi dirinya di depan cermin, ia sedang sibuk menguncir rambutnya, "Oh ya, aku lupa. Sudah rutinitasmu bukan setiap hari untuk menjenguk Harry?"

Jenna ikut terkekeh melihat Niall yang terkekeh ketika menyelesaikan kalimatnya. Jenna merapihkan sedikit anak rambutnya yang berantakkan lalu berdiri menghadap Niall yang sedari tadi berada di belakangnya.

"Kuharap, kondisi Harry ada kemajuan hari ini. Kau tahu 'kan, sudah tiga hari kondisinya seperti itu-itu saja," Jenna menghembuskan napas panjangnya, bahunya sedikit merosot, "Aku takut kalau--"

"Sst.." Niall mendekat kearah Jenna, menempelkan jari telunjuk ke bibirnya sendiri, "Tidak ada yang perlu ditakutkan karena semua akan baik-baik saja, oke?"

Jenna mengangguk seraya tersenyum samar. Semua orang selalu berkata seperti itu, berkata bahwa semua akan baik-baik saja yang nyatanya kadang tidak sesuai dengan ekspetasi omong kosong mereka.
Lagi, siapa yang tidak takut jika seseorang yang kau cintai sudah lama terbaring di tempat tidur? Dengan kondisi yang tidak pernah membaik? Ya-ya, pasti disana dia sedang berjuang mati-matian melawan apalah itu namanya. Dan, tugas yang lain hanya menunggu disini, menunggu keputusan apa yang akan ia pilih.

Tetap berjuang atau berhenti.

"Kuharap juga begitu, Ni."

***

Jenna membuka pintu rawat bernomor dua puluh delapan. Mengedarkan pandangannya ke segala penjuru. Sudah menjadi rutinitasnya memerika keadaan kamar ini setiap harinya. Hm, suasanya sama seperti kemarin. Tidak ada yang berubah disini. Ya, mungkin hari ini kamar dua puluh delapan  sedikit berantakkan karena Louis sedang tertidur di sofa pojok, bungkus makanan mengitari tubuhnya dan selimut yang ia gunakan sebagian terjatuh kelantai.

Jenna tersenyum. Louis benar-benar teman yang sangat baik untuk Harry. Yah, maksudnya Louis benar-benar layak disebut dengan sahabat. Karena dia selalu ada disaat Harry senang maupun seperti ini. Dia tidak pernah meninggalkan Harry dan selalu menemani Harry di rumah sakit. Jenna akui ia sedikit iri dengan pertemanan mereka. Begitupun aku yang menulis cerita ini.

Membiarkan Louis yang masih terlelap, Jenna berjalan pelan kearah ranjang Harry. Mengecek suhu badan Harry menggunakan telapak tangannya. Masih seperti biasanya.

"Hai Harry," ia duduk di kursi biasa, memandang Harry lekat-lekat. Mata itu belum kunjung terbuka dan perban itu belum juga terlepas.

"Kau pemalas sekali belum bangun-bangun juga! Apa kau bermimpi indah disana? Karena aku juga selalu malas bangun jika bermimpi indah," Jenna mulai berceloteh, seperti biasa. Mengajak Harry berbicara, "Tapi, aku tidak pernah selama kau, tahu!"

Jenna menggenggam telapan tangan Harry. Meremasnya perlahan. Lalu Jenna menjadikan telapak tangan Harry yang bersatu dengan telapak tangannya menjadi tumpuan sebuah bantal. Ia meletakkan kepalanya pelan disana. Menghirup napas dalam-dalam lalu menghembuskannya.
Dengan begini saja, ia sudah merasakan kenyamanan yang sulit untuk dijabarkan.

Harry benar-benar mencakup semua yang ia butuhkan.

"Cepat bangun, Curls." ucap Jenna lirih dan nyaris berbisik, masih dengan posisinya. Jenna rasa, ia bisa tertidur jika terus-menerus berada di posisi seperti ini.

Oh Tuhan.

Jenna tersentak kala genggamannya terbalas. Maksudnya, ada seseorang yang ikut menggenggam tangannya. Iya, dia merasakan itu. Jantungnya sampai berdebar sangat kencang, sangat kencang sampai-sampai Jenna merasakan jantungnya akan segera meledak menjadi puing-puing kecil. Dengan hati-hati, ia mengangkat kepalanya. Menatap Harry.

Alzheimer DiseaseWhere stories live. Discover now