Chapter 27

26.6K 1.8K 151
                                    

Aku membuka mataku perlahan namun tidak berhasil karena mataku seperti sedang diduduki raksasa hijau yang membuatku tidak bisa membuka mataku sepenuhnya. Lagi, tiba-tiba saja rasa pusing luar biasa menyerang kepalaku. Pusing. Lebih dari pusing, kepalaku berdenyut-denyut hebat sehingga aku merasakan akan kehilangan isi kepalaku sebentar lagi.

Aku mengerjap, mengusir rasa pusing yang menyerangku secara tiba-tiba, namun tidak berhasil. Maka dari itu, aku kembali menutup mataku. Mencoba menyeimbangi rasa pusing tersebut dengan kondisiku yang lemah. Sesaat aku tertegun. Lalu tiba-tiba saja aku terduduk tegap dengan napas yang terengah-engah.

Mataku dengan liar menelusuri ruangan serba putih ini dan hal itu menyadarkanku pada satu hal; aku berada di rumah sakit. Bukan di ruangan pengap dan kekurangan cahaya. Aku terduduk diantas ranjang khas rumah sakit dan buka terikat berdiri di sebuah tiang yang dingin. Aku...

ASTAGA!

Adrenalinku berpacu cepat, sangat cepat! Membuat napasku semakin terengah-engah tak terkendali. Entah mendapat asupan energi dari mana, aku langsung meloncat dari atas ranjang dan berlari sekuat yang aku bisa dengan detakan jantung tang berkorbar-kobar di dalam sarangnya.

Aku menggeleng, menggeleng, dan menggeleng disela-sela kakiku yang melangkah dengan cepat. Menyangkal semua ingatanku tentang kejadian itu. Tidak. Tidak mungkin jika ia tertusuk oleh pisau laknat itu. Tidak, ia pasti akan baik-baik saja. Tidak, pisau itu tidak mengenai dadanya. Tidak sama sekali. Tidak.

Tolong siapapun, ikut berkata tidak padaku kali ini.

Namun sekuat apapun aku menyangkalnya, tetap saja kenyataan itu menghantamku. Aku terpekur ketika melihat seseorang yang tengah terkapar di dalam sana, lengkap dengan alat-alat yang mengerikan.

Aku mendadak merasakan perasaan perih luar biasa menyerang ulu hatiku, batinku ambruk, disertai perasaan sesak yang semakin menghimpit paru-paruku. Menghantamnya dengan telak dan tepat sasaran. Aku menyentuh daun pintu yang tertutup tersebut, bola mataku memanas saat melihatnya terkulai lemah diatas ranjang rumah sakit, dibantu dengan selang-selang oksigen dan alat-alat yang lainnya.

Matanya tertutup dengan rapat, sangat rapat. Dadanya naik turun dengan tempo yang teratur tanpa dibaluti sehelai benangpun. Bibirnya terkatup rapat dan memucat. Terlebih di sekitar dadanya timbul warna kebiru-biruan seperti darah yang telah membeku.

Dadaku semakin sesak melihat keadaannya seperti ini. Aku tidak bisa melihatnya seperti itu! Aku mau kedua mata itu terbuka dan menatapku dengan hangat, seperti biasanya. Aku ingin bibirnya terbuka, menyerukan namaku dengan suaranya yang indah, aku ingin tangannya tergerak, agar ia bisa kembali merengkuhku ke dalam pelukannya.

Tapi, sekarang justru aku hanya menemukannya dengan tubuh lemah tak berdaya.

"Jen.." satu suara mendadak mengintrupsi lamunanku, membuatku tersentak dan segera berbalik badan agar bisa melihat wajahnya.

Aku terpekur memandang wajahnya, begitupun dengannya. Aku mengigit bibirku dalam-dalam, berusaha menahan gejolak yang menyerbu perasaanku dengan menggebu-gebu. Aku menundukkan kepalaku setelahnya, tidak sanggup menatap kedua bola matanya lebih lama karena membuatku merasa terintimidasi secara tidak langsung. Aku terisak-isak dibawah sana, meremas-remas ujung bajuku dengan gelisah.

Sedetik kemudian, aku merasakan tubuhku terdorong ke depan. Ia membawaku ke dalam dekapannya, ia merengkuhku dengan erat. Aku memang sempat sedikit terkejut dengan tindakannya, namun aku tetap membalas pelukannya. Pelukan hangat dan nyaman ini sangat-sangat aku butuhkan sekarang.

"Ini semua salahku.." aku meremas kemeja birunya, tangisku semakin menjadi-jadi dalam dekapan pria berambut keriting ini, Harry.

Harry mengelus rambutku yang berantakkan, menghantarkan perasaan hangat untuk hatiku yang sudah lebih dulu beku karena kejadian mengerikan itu, "Ini bukan salahmu."

Alzheimer DiseaseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang