Chapter 40

24.3K 1.6K 124
                                    

Semalaman aku tidak bisa tidur. Hanya menatap jejeran kalimat yang terangkai menjadi suatu artikel. Kedua kelereng mataku menelusuri satu persatu kalimat yang ada, membandingan dengan kenyataan yang dialaminya. Menurut artikel-artikel yang kubaca, kemungkinan penderita Alzheimer untuk bisa sembuh hanya dua puluh lima persen. Dan itu juga tidak bisa disembuhkan total, hanya dapat kembali mengingat penggalan ingatan intinya saja. Kecuali dengan mukjizat.

Menutup laptopku yang masih menyala, aku mengusap kasar wajahku. Mataku memanas dan rasa-rasanya sebentar lagi akan meleleh karena aku terlalu memaksakannya untuk bekerja semalaman tanpa istirahat.

"Kekasihku-meninggalkanku demi seorang lelaki yang ia sukai,"

"Aku menyayanginya. Aku mencintainya. Aku terus berjuang untuknya, tapi dia meninggalkanku."

Aku masih ingat bagaimana raut wajahnya sedikit banyak berubah menjadi kecewa. Aku bisa melihat kilatan tertohok dari balik netranya ketika aku mengucapkan kalimat tersebut, saat pertemuan keduaku dengannya. Untuk saat itu aku belum berani menarik kesimpulan kalau ia jatuh cinta pada pandangan pertama padaku. Aku ini tidak terlalu narsis dalam urusan percintaan.

"Karena aku peduli padamu."

"Aku tidak memintamu untuk peduli padaku."

"Tapi, aku ingin peduli padamu."

"Aku tidak menyukaimu."

"Dan, aku menyukaimu, Harry."

Dan saat ia kelepasan mengatakan kalau ia menyukaiku, saat itu juga aku merasa bahwa asumsi pertamaku sangat akurat. Dia memang menyukaiku, secepat itu. Dan secepat ia melupakanku.

Aku membanting tubuhku ke ranjang, jam sudah menunjukkan pukul empat pagi dan aku masih belum bisa menutup mataku. Otakku masih bergulir menelusuri kenanganku dengannya. Seolah-olah tanpa sadar, aku sedikit paranoid. Aku takut melupakan sebagian atau seperempat kenanganku bersamanya, dan jika itu terjadi, sungguh demi dewa neptunus, aku tidak akan rela.

Aku bangkit, dan saat itulah beban di kedua pundakku terasa semakin memberatkan. Bisa-bisa aku memilih jalan untuk ke psikiater karena kefrustasianku yang berlebihan dalam jangka waktu yang cukup panjang. Aku hampir positif gila, benar? Atau.. Memang sudah gila?

Seraya memikirkan kefrustasianku yang tidak ada habisnya, aku meneguk segelas air putih di dapur. Meminumnya dalam sekali teguk. Suasana disini sangat sepi, mungkin Kelvin ataupun Jenna masih terlelap di alam mimpinya sendiri.

Mengingat tentang Kelvin, aku sedikit jengkel dengannya pasal masalah tadi malam yang kuperdebatkan. Ia merendahkan harga diriku hanya karena kondisi adiknya yang menyedihkan. Well, setidaknya aku tidak begitu.

"Sedang apa kau disini?"

Aku membalikkan tubuhku cepat, melihat Kelvin yang berdiri di depanku dengan muka bantalnya. Kantung matanya membesar hingga menyipitkan kedua matanya. Bertaruh, ia pasti tidak tidur.

"Meminum segelas air," aku menjawab seadanya. Kelvin tidak menggubris jawabanku, ia tercenung dalam pikirannya sendiri. "Kau?"

Kelvin tersentak lalu dengan cepat memposisikan dirinya seperti mula, "Aku tadi mendengar pintu kamar yang dibuka. Kukira Jenna, ternyata kau."

"Kau tidak tidur?"

"Tidak."

Dugaanku benar, kan?

"Kau sendiri?" tanyanya lagi.

"Sama sepertimu."

Ia mengangguk. Mendadak atmosfer disekitar kami berubah mencekam. Hanya detingan jarum jam yang menemani kesunyian antara aku dan Kelvin. Dari kami, tidak ada satupun yng membuka suara. Sepertinya insiden tadi malam cukup membuat jarak diantara kami sedikit canggung.

Alzheimer DiseaseWhere stories live. Discover now