Chapter 36

22.9K 1.6K 136
                                    

Diluar sana, daun pun mulai berguguran, angin-angin berhembus menerbangkan beberapa helai rambut manusia-manusia yang berlalu lalang. Lembayung senja mulai merayap di angkasa, mengiringi mentari yang menghilang di ufuk barat. Lampu-lampu kota mulai berkedipan di sana-sini berkolaborasi dengan ayunan ranting pohon yang ditinggalkan daun-daunnya.

Dibalik kaca jendela ini, Jenna termangu. Lenyap bersama keheningan yang mendekapnya. Terbuai di dalam dunia pikirannya. Seakan-akan jiwanya pergi berkelana entah kemana, meninggalkan raganya diam mematung disini.

Sampai akhirnya, gadis itu terkesiap kala matanya memanas. Mati-matian ia menahan gumpalan cairan bening itu agar tidak meledak, menahan mati-matian sesak yang sedang menghimpit rongga dadanya kala sepasang lengan melingkar di pinggangnya.

Itu Harry.

“Hai,” Harry bergumam rendah, menempelkan pipinya di bahu gadis itu dan semakin mendekap gadis itu erat.

Rasa sesak itu semakin menghimpit dadanya, Jenna sampai kalap menahan air matanya yang ingin tumpah, terlebih untuk sekedar bernapas pun Jenna sampai mengap-mengap. Mendadak pasokan oksigennya menghilang.

“Bagaimana check up-mu hari ini, Jen?” tanya Harry, masih di posisi yang sama.

Jenna menggigit bibirnya kuat-kuat. Andai Harry mengatakan hal itu ketika Jenna sedang merasa jenuh menunggu kepulangan Harry, sudah pasti Jenna akan melompat girang ke pelukan Harry dan menceritakan seberapa jenuhnya ia menunggu Harry. Tapi sayangnya, keadaan saat ini tidak seperti apa yang ia harapkan. Kenyataan dan ketegasan dari apa yang ia lihat tadi cukup meremukkan hatinya, melumpuhkan segala persediannya dan meluluh-lantakkan air matanya.

Mengetahui dia, seseorang yang kau cintai--memeluk wanita lain selain dirimu, mengusap puncak kepala wanita itu, melanggar janjinya sendiri demi wanita itu, dan memprioritaskan wanita itu daripada kau sendiri, tentu rasa sakitnya sangat menyiksa. Setiap sudut hatimu pasti berkedut nyeri, bayangan demi bayangan peristiwa itu pasti selalu menghantuimu dan semakin membuatmu terpuruk di dalam jurang kesedihan, benar begitu?

Ya. Jenna merasakan semua itu.

“Maaf aku sedikit telat pulang hari i--”

“Kali ini alasanmu apa?!” Jenna menyela cepat dan sedikit menyentak. Jenna menepis kedua tangan Harry yang melingkar di pinggangnya, memutar badannya menghadap Harry.

Harry tertegun melihat guratan-guratan air mata yang membekas di pipi gadis itu, membuat aliran sungai di pipi gadis itu dan berkumpul penuh di bawah dagunya.

“Jen, kau..” Harry mengangkat tangannya, berusaha menyentuh pipi Jenna yang terlihat memerah. Rasanya Harry ingin mengecup setiap inci pipi gadis itu, menghilangkan jejak-jejak air mata yang membekas dan meninggalkan jejak kecupannya disana.

Tapi niatnya harus ia urungkan karena Jenna langsung menepis tangan Harry. Membuat tangan Harry menampar udara dengan keras.

“Jangan kau pikir, aku tidak tahu apa yang sebenarnya kau lakukan diluar sana, Ry.” ucap Jenna getir, menahan kuat-kuat rasa sesak yang semakin menekan ulu hatinya.

Harry menatap mata gadis itu, menyelami kegelapan matanya yang sudah berlinang air mata, Harry merasa bersalah ketika melihat kesedihan yang nyata begitu terpancang di kedua mata Jenna.

“Apa maksudmu, Je--”

“Kau tidak perlu mengelak dariku lagi! Aku sudah melihatnya dengan mata kepalaku sendiri, tentang bagaimana kau...,” ucapan Jenna terhenti di tengah jalan karena tangisannya yang mendadak pecah, diiringi dengan isakan tangisnya yang menggema.

“Apa?”

“Aku tahu, ingatanku hampir semuanya lenyap. Tapi bukan berarti kau bisa membodohiku, aku bisa melihat dari tatapanmu, bagaimana kau menatap gadis itu, ketika kau khawatir melihat gadis itu menangis dan bagaimana cara kau memeluk gadis itu. Aku tahu, Harry, aku tahu,” gadis itu sudah kepalang jengah, mengingat kejadian itu sukses membuat air matanya semakin merebak membanjiri wajahnya. “Jadi kau tidak bisa mengelak lagi.” 

Alzheimer DiseaseWhere stories live. Discover now