Chapter 16

826 83 4
                                    

Sejak dimana Kino menerima Kevan masuk kedalam hidupnya, pemuda tampan itu semakin lengket pada Kino. Tidak bisa dan tidak mau jauh dari Kino walaupun sesenti.

Kino pun tidak mempermasalahkannya, si manis menjadi lebih baik dan lembut. Walaupun terkadang galaknya kumat karena lagi-lagi Kevan menjadi satu alasan Kino mengamuk.

Berita ini terdengar hingga seantero sekolah, ada dua faktor mengapa hubungan Kino dan Kevan bisa diketahui banyak orang dalam waktu singkat.

Pertama, karena Kevan yang menunjukkannya dengan terang-terangan. Dan kedua, karena bibir ember Haikal dan Juan yang senang sekali bergosip sana-sini.

Kai pun yang mengetahuinya ikut bahagia, namun di satu sisi Kai juga merasa takut. Takut karena mungkin dari sinilah perdebatan Kevan dan Kino di masa depan terjadi.

Otak kecil Kai terus berputar, sudah sampai sejauh ini. Mau sampai kapan dirinya berada di masa orang tuanya?

Kai juga merindukan kasih sayang yang sebenarnya dari Kevan dan Kino. Bukan kasih sayang sebatas teman yang sering Kino berikan, atau Kevan yang selalu mengalah padanya.

Tadi malam, Nenek Permen datang dengan melemparkan kerikil ke jendela kamar Kai. Merasa terganggu dengan suara itu, Kai membuka jendela dan mendapati wanita tua itu tengah mengisyaratkan Kai agar turun dengan tangannya.

Tentu Kai menurut, karena hanya dari Nenek itulah Kai mengetahui kabar orang tuanya. Menghampiri sang Nenek dengan piyama Pororo-nya serta mata mengantuk.

"Ada apa Nek?" tanya Kai seraya mengucek matanya.

Nenek Permen tertawa kecil melihat Kai yang susah payah menahan kantuk. "Gak ada apa-apa, kangen sama Kai aja."

"Kangen kok, malem-malem. Kabar Papa sama Mama gimana Nek?"

"Kabar mereka baik, dari segi jasmani tapi, enggak sama rohani Mama kamu."

"Eum? Emang Tante Rohani ngapain Mama lagi?" sontak saja Nenek Permen tersedak ludahnya sendiri. Bagaimana bisa Kai mengucapkan candaan dikala dirinya serius?

"Maksud Nenek, rohani batinnya Mama kamu. Mental Mama kamu! Bukan rohani nama orang, Kai!" ucap Nenek Permen gemas.

Kai tertawa pelan, merutuki kebodohannya. "Maaf, Nek. Keinget Tante Rohani, tetangga sebelah yang baiknya cuma ke Mama kalo ke aku galak banget, hehe. Mama gak apa-apa, kan?"

"Semoga aja. Tapi, Kai kamu harus cepat cari tau inti dari masalah orang tua kamu. Karena Mama kamu udah ngajuin surat perceraian," suara Nenek Permen melemah diakhir kata.

Sungguh dirinya tidak enak hati menyakiti pemuda kecil dihadapannya. Nenek Permen meneliti mimik wajah Kai, mencari hal aneh di sana.

Dan ia mendapatkannya, tapi bukan raut kesedihan melainkan raut tak terbaca di wajah tampannya itu.

"Kamu kenapa?" tanya Nenek Permen heran.

"Aku jadi mikir deh, Nek. Kalo aku di sini, terus gimana sama Mama, Papa di sana yang tau kalo aku gak ada?" Nenek Permen menghembuskan napasnya, setidaknya ada pikiran lain yang menghalangi Kai agar anak itu tak terlarut dalam kesedihan.

"Papa, Mama kamu enggak sadar, mereka menganggap kamu masih berada di sisi mereka. Lagipula saat kepulangan kamu nanti, kamu bisa memundurkan waktu satu hari sebelum insiden perpisahan terjadi."

Kai manggut-manggut, bibirnya maju dengan jemari sibuk mengelus-elus dagu. "Oh, gitu. Ya udah, Kai mau bobok. Ngantuk banget, besok sekolah Kai bakal cari tau secepatnya. Dah, Nenek Permen! Hati-hati pulangnya, ya!"

"Ya, tidur nyenyak Kai!" Nenek Permen berseru agak kencang, setelahnya menutup mulutnya dengan kedua tangan karena kelakuan bodohnya di malam hari, mana lagi ia sedang dipekarangan rumah orang.






Broken Home FailedWhere stories live. Discover now