Chapter (23)

608 52 0
                                    

Malam menjelang, langit oranye hilang terganti dengan langit gelap. Bulan dan bintang menggantikan tugas matahari untuk memberikan penerangan ke bumi.

Kevan menggerutu sepanjang jalan, motornya ia bawa pelan karena jalan raya pun terlihat sangat ramai. Meskipun sudah malam entah mengapa semua pengendara sepertinya senang membuat macet.

Tidak menyangka kalau Jeffry –Daddy-nya– menyuruh ia mengantar Tio ke rumah sang Nenek. Yang mana letak rumah Neneknya sangat jauh, berada di kota tetangga dan membutuhkan waktu tiga jam perjalanan.

Pantat Kevan panas, duduk di atas motor apalagi jalan menuju rumah sang Nenek tidak bisa dikatakan bagus. Tahu begini Kevan memilih menolak permintaan Jeffry daripada dirinya tersiksa akan sakit badan yang membuat pegal-pegal.

Belum lagi ada Kai di rumahnya, yang semakin menambah kebisingan dalam rumah. Rasanya ketenangan di hidup Kevan itu sangat sulit terjadi, semenjak Kai datang dengan kepribadian baru dunianya jungkir balik semakin menyebalkan.

Tapi, tidak bisa Kevan pungkiri kalau Kai membuat warna baru dalam hidupnya. Tingkahnya lucu, lebih kekanak-kanakan, Kevan bahkan tidak mengira kalau dia adalah Kai yang Kevan kenal sebelumnya.

"Ett, dah! Ini macet banget mengapa, sih?! Kaga tau apa ya gue capek!" gerutu Kevan, jengkel karena jalan benar-benar penuh.

Ia melakukan peregangan kecil di lengan serta leher, jujur saja bagian tangan dan leher sungguh sakit. Selepas ini Kevan akan mencecar Daddy-nya untuk memijat tubuhnya, tidak peduli mau dicap sebagai anak kurang ajar atau sejenisnya.

Dengan sabar Kevan menunggu hingga kendaraan lain mulai melaju normal. Sampai dimana ia melihat ada sebuah kecelakaan yang mengakibatkan kemacetan.

Kevan jadi teringat Kino, apakah Harith mengantarnya tanpa mengebut? Atau, apa yang sedang dilakukan Kino sekarang?

Memikirkan Kino membuat Kevan ingin cepat-cepat sampai rumah. Membuka ponselnya lalu menelepon sang pujaan hati. Perduli setan dengan mandi, tidak mandi pun ketampanannya tidak akan luntur.

"Farel?" gumamnya saat manik hitam miliknya menangkap sosok kecil sedang terduduk di depan gerbang sekolah.

Maka dengan itu Kevan melaju sedikit cepat, menghampiri Yovaleno setelah memarkirkan motornya asal. Lagi pun kendaraan tidak seramai di jalan besar tadi, jadi Kevan leluasa saja tanpa takut kemalingan.

"Farel! Lo ngapain masih di sini?" yang dipanggil mendongak, matanya membengkak menandakan Yovaleno menangis berjam-jam.

"Eh, elo kenapa? Kenapa masih di sini?" Kevan berjongkok di depan Yovaleno. Mengusap pipi sahabatnya pelan saat ada air mata mengalir.

"A-aku nunggu Harith, hiks ... Ta-tapi, Harith gak dateng. Aku-aku nunggu lama, mau pulang takut Harith dateng, hiks. Tapi, tapi Harith gak dateng, hiks."

Kevan agak bingung dengan apa yang diucapkan Yovaleno karena dia berbicara terbata-bata. Tapi, ia dapat menyimpulkan kalau Yovaleno menunggu Harith di depan gerbang sekolah.

"Udah jangan nangis, udah berapa lama lo di sini?"

"Li-lima."

"Lima hari?!" jerit Kevan terkejut, namun Yovaleno malah merengut lalu memukul kepala Kevan.

"Lima, hiks, jam!"

"Oh, kirain lima hari. Ya udah, gue anter lo pulang. Jangan nangis lagi, itu tukang nasi goreng udah ngeliatin gue terus," ucap Kevan seraya melirik pada penjual nasi goreng keliling yang menatapnya tajam.

"Nanti, kalo Harith dateng ... Gimana?"

"Gak bakal dateng, udah malem. Dia mungkin lagi rebahan di kasurnya, udah ayo pulang." Kevan menarik tangan Yovaleno pelan, diarahkan pada motor besarnya.

Broken Home FailedWhere stories live. Discover now