Chapter (25)

719 66 6
                                    

Satu bulan terlewatkan, sekarang semua siswa-siswi tengah disibukkan dengan persiapan ujian kenaikan kelas. Kevan yang pada dasarnya cuek pada ujian apapun, dan berapapun nilainya kini malah panik dan cemas.

Pikirnya, ia takut tidak naik kelas. Dan membuat dirinya jauh dari Kino.

Entah kenapa bisa si optimis ini jadi pesimis, Kevan yang selalu percaya diri jadi minder. Apalagi ketika melihat Satria yang akhir-akhir ini ikut belajar dalam kelompok Kino.

"Baik anak-anak, duduk di tempatnya masing-masing. Jangan ada yang pindah, saya akan membagikan kertas ujiannya."

Kevan terjengit, dilihatnya guru matematika sebagai pengawas di hari pertamanya. Tambah cemas dirinya, jantungnya berpacu cepat.

Guru matematikanya dicap sebagai guru killer, dan itu memang benar. Matanya jeli serta tajam, gerakan sekecil apapun bisa beliau lihat.

"Anjir-anjir! Seketika gue lupa nama panjang gue sendiri!" gerutu Kevan pelan. Ia menggaruk-garuk kepalanya saking frustasinya.

Ditambah ia sendirian, kelasnya diacak tidak satupun temannya masuk ke kelas yang sama dengannya. Lebih menyebalkannya lagi anak-anak IPA berada dalam kelas yang sama dengannya.

Semakin frustasi lah Kevan, sebenarnya ia sudah belajar. Dan kisi-kisi yabg diberikan sudah dipelajari ulang olehnya tapi, karena panik Kevan malah jadi bodoh seketika.

Cleak!

Pintu terbuka menampakkan Yovaleno dengan napas tersenggal serta keringat bercucuran di dahinya. Kevan tersenyum lebar, setidaknya ada satu orang yang ia kenal dekat satu kelas dengannya.

"Hari pertama ujian udah terlambat, gimana sama hari-hari selanjutnya?" ucap guru matematika itu bernada sinis, Yovaleno hanya bisa tersenyum lalu duduk di kursinya setalah mendapat persetujuan dari sang guru.

Kevan memutar tubuhnya melihat Yovaleno yang sudah mengeluarkan alat tulisnya. Ia membuat gestur tubuh menyemangati sembari bicara lewat gerakan bibir.

Kira-kira seperti ini, "nanti gue nyontek, ya!" lalu Kevan memberikan jempol pada Yovaleno. Dan Yovaleno menanggapinya dengan senyuman geli melihat tingkah Kevan.

Suasana kelas semakin hening, hanya ada suara goresan antara pulpen dengan kertas serta ketukan pulpen beradu dengan kening. Dan para murid pun memulai aksi mereka secara diam-diam ketika sang guru lengah.

Tidak tinggal diam, Kevan pun ikut nimbrung. Tidak peduli jika orang yang ia mintai contekan adalah orang yang tidak ia kenali. Yang penting orang itu ada di jurusan yang sama dengannya, yaitu IPS.

Di bangku belakang, Yovaleno anteng mengerjakan ujiannya tanpa teralihkan fokusnya pada murid lain yang menyontek. Yovaleno bertekad untuk menjadi nomor satu untuk kali ini saja, kalau bisa sampai seterusnya.

Karena Yovaleno sedang mengejar sebuah beasiswa untuk kuliah. Yovaleno tidak mungkin masuk kuliah dengan uang, ia tidak sekaya itu.

"Gak usah buru-buru ngerjainnya, waktunya masih banyak," kata guru itu dengan nada suara khasnya yang terdengar galak.

Ya, bicara saja seperti itu nyatanya dua puluh menit kemudian guru matematika itu berjalan dari satu meja ke meja lain untuk mengambil kertasnya lagi. Dalam hati Kevan sudah mengumpati sang guru, untung saja ia bisa menyelesaikannya dengan benar meskipun Kevan tidak yakin dengan hasil yang sebenarnya.

Bertepatan dengan selesainya sang guru mengambil kertas-kertas ujian, bel tanda istirahat berbunyi. Beberapa siswa pergi meninggalkan kelas, tapi ada juga yang memilih tinggal untuk belajar di ujian selanjutnya.

Broken Home FailedWhere stories live. Discover now