Chapter 17

774 73 3
                                    

Kevan mengendarai motornya pelan, teramat pelan sehingga membuat pengguna jalan lain kesal. Wajahnya masih menyisakan rona merah, kejadian di atap sekolah tadi siang benar-benar memalukan.

Tapi, tidak bisa dipungkiri juga kalau Kevan sangat senang. Apalagi untuk pertama kalinya merasakan lembutnya bibir kekasihnya.

Motor diberhentikan di pinggir jalan, tanpa membuka helm Kevan menerawang ke depan. Dia menjadi gila karena senang, bahkan Kino tidak marah, malah tidak berkata-kata dan bertingkah menggemaskan.

"ANJING UDAH GILA GUE BANGSAT!" teriak Kevan tak tahu tempat.

Para pejalan kaki sampai bergerak mundur menjauh pada Kevan, penjual es doger yang numpang beristirahat pun ikut pergi. Tidak pedulikan reaksi orang-orang, Kevan menyalakan mesin motor, segera pergi dari tempat itu.

Sekarang Kevan melajukan motornya pada kecepatan normal, masih mesem-mesem dengan senyum menggelikan di balik helm. Giginya kering, tapi Kevan tidak peduli, yang penting dirinya lampiaskan dahulu rasa senangnya ini.

Setelah menempuh perjalanan lama karena Kevan selalu berhenti di pinggir jalan akhirnya dirinya sampai di kompleks rumahnya. Tapi, bukannya berhenti di depan rumahnya sendiri ia malah terus berjalan lurus.

Mengabaikan dua Adik kembarnya yang sedang bermain pasir di halaman depan. Baran memasang wajah melongo saat Kevan melewatinya begitu saja.

"Saren! Itu Bang Kevan, kan?" tanya Baran memastikan, takut dirinya salah mengira orang lain sebagai Kevan.

Saren mendongak, melihat motor Kevan yang lagi-lagi berhenti dan orangnya sedang memeluk dirinya sendiri. "Iya, itu Abang. Panggil yuk, siapa tau Bang Kevan lupa sama rumahnya sendiri," kata Saren.

Baran mengangguk, keduanya berdiri dan bersiap berteriak memanggil sang Kakak.

"BANG KEVAN! RUMAHNYA KELEWATAN!" kompak Baran, dan Saren berteriak sangat kencang. Para tetangga pun dapat mendengar teriakkan mereka.

Namun, Kevan seolah tidak mendengar teriakan menggelegar kedua Adiknya. Dia malah melajukan motornya menjauh, Baran dan Saren melangkah untuk mengejar.

"BANG! WOI, BUDEG YA!" teriak nyaring Baran. Dan diikuti oleh teriakan Saren, "BANG KEVAN RUMAHNYA DI SINI! ABAAAAANNNGGG!"

"HEH BOCAH! NGAPAIN TERIAK-TERIAK ANJIR! BERISIK!" tiba-tiba anak sulung keluarga Leeches berteriak dari arah balkon.

"KAK LEGRA! ITU BANG KEVAN NGELEWATIN RUMAH!" adu Baran yang diangguki Saren.

Legra mengikuti arah tunjuk Baran, benar saja. Motor besar Kevan melaju menjauhi rumah.

"KEVAN! PULANG, WOI! RUMAH LO DI SINI!"

"ASTAGA, KALIAN APA-APAAN SIH! SORE-SORE GINI TERIAK-TERIAK, HAH!" Tio datang dengan spatula di tangannya. Menatap ke atas kearah Legra, lalu menatap si kembar yang ada di luar.

"Bubu, Bang Kevan gak pulang, tuh. Malah nyelonong aja," adu Saren.

Tio memiringkan kepalanya, menarik napas, dihembuskan perlahan. "KEEVAAANNN!" pada akhirnya Tio pun ikut-ikutan berteriak memanggil anak keduanya.

"Emang katarak kupingnya. Legra, balik ke kamar. Beresin kekacauan yang kamu buat. Baran sama Saren masuk, mandi habis itu makan." Perintah Tio, yang langsung dilakukan anak-anaknya.

.

.

.

.

Motor Kevan terus saja melaju, dengan berhenti sejenak untuk menenangkan diri dari kesenangan yang gila. Kini dirinya berhenti di depan sebuah rumah sederhana, dan Kevan baru menyadari kalau rumahnya sudah terlewat jauh.

Broken Home FailedWhere stories live. Discover now