Chapter (20)

888 73 0
                                    

"Kamu kenapa, Cil?" Kevan bertanya untuk yang kedua kalinya, karena heran melihat tingkah Kino yang tidak biasanya.

"Gak papa."

"Gak papa gimana? Itu dari tadi daging ayamnya kamu geprek terus enggak dimakan," kata Kevan. Ngeri melihat kebrutalan Kino menggeprek ayam di piringnya.

"Emang kenapa? Aku mau biar dagingnya legit!" Kevan mengernyit bingung, nada bicara Kino benar-benar tidak santai.

"Ya tapi, gak gitu juga, Cil. Tuh liat, pelayannya ngeliatin kamu."

"Gak ada urusan sama aku, aku makan di sini juga bayar! Kenapa mereka repot ngeliatin aku? Mending balik kerja biar gajinya nambah. Dah ah, males aku, aku mau pulang!"

Kino beranjak berdiri, mengambil tasnya kasar yang berada di kursi kosong di sampingnya. Kevan menatap Kino menganga, kemudian mengejar kekasihnya yang sudah keluar dari rumah makan.

"Buruan! Aku gak mau lama-lama sama kamu." Kino melipat tangannya di depan dada, netra cantiknya tidak ingin menatap Kevan malah mengedar ke jalan raya.

"Iya, sayang."

Kevan menyalakan motornya, setelah Kino duduk nyaman baru dirinya menjalankan mesin roda dua itu. Membelah jalan kota di sore hari, seharusnya jalan-jalan ini menjadi menyenangkan. Namun, berubah ketika dirasa Kino sedang tidak dalam mood yang baik.

Dalam perjalanan pun hening, biasanya Kevan akan memulai sebuah topik sederhana. Atau Kino yang akan memeluk dirinya seraya meletakkan dagu di atas pundaknya.

Tapi, sekarang Kino malah menjaga jarak. Kedua tangan berada di atas lutut, bahkan matanya terus menatap ke samping kanan. Seolah Kino memang tidak ingin melihatnya.

"Udah sampe, hati-hati tur—" Kevan terdiam saat Kino melompat dari atas motor lalu berjalan kearah rumahnya.

Tanpa mengatakan terima kasih atau sekedar basa-basi mengajaknya masuk ke rumahnya. Yang pastinya Kevan tolak karena masih takut pada Yudha tapi, Kino akan tetap menawarkan walaupun Kevan menggeleng tidak mau.

"Cil, kamu kenapa lagi?" gumam Kevan, sedih melihat Kino yang kembali bersikap cuek dan dingin padanya.

.

.

.

.

Tok ... Tok ... Tok

Kevan mengetuk pintu di depannya pelan, menunggu seseorang membukanya. Hampir sepuluh menit Kevan menunggu tapi, tanda-tanda seseorang akan membuka pintu tidak ada.

Baru saja Kevan akan berbalik, pintu terbuka. Menampilkan sosok kecil bersurai pirang dengan wajah lebam.

"Kevan? Ada apa?"

"Lagi?" Kevan balik bertanya, Yovaleno hanya memberikan senyum tipis.

Membuka pintu lebih lebar mempersilahkan tamunya masuk. Kevan duduk di sofa, sedangkan Yovaleno pergi ke dapur mengambilkan Kevan minum.

"Ini diminum dulu," cangkir teh diletakkan di atas meja. Yovaleno duduk berhadapan dengan Kevan sambil membuka kotak obat.

Seolah Kevan sudah biasa melihat Yovaleno terluka apalagi ketika Yovaleno mencoba mengobati lukanya sendiri. Kevan santai menyesap teh buatan sahabatnya, sesekali matanya melirik ke depan saat ringisan pelan terdengar.

Memperhatikan Yovaleno sebentar kemudian Kevan berdiri. Duduk di samping Yovaleno seraya merebut kapas ditangannya.

"Kalo gak bisa minta tolong. Punya mulut, kan?" Kevan mengusapkan kapas basah itu pada tulang pipi Yovaleno, lalu sudut bibirnya terakhir pada kening yang sedikit sobek.

Broken Home FailedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang