Keping Tiga Puluh Lima

7.8K 794 105
                                    

Sepanjang lebih dari satu jam mereka terjebak dalam kemacetan, dan selama itu pula, tidak ada satu pun yang memulai obrolan. Baik Raka maupun Liora sama-sama membiarkan setiap detiknya berlalu dalam keheningan. Mereka duduk berjauhan, saling diam tanpa melakukan apa pun dan sibuk dengan pemikirannya masing-masing.

Seperti dugaan Liora, situasi itu menjadi lebih sulit dari yang ia bayangkan. Duduk berdekatan tapi saling diam seolah tidak pernah saling mengenal, adalah hal yang sangat menyakitkan. Banyak hal yang ingin mereka ceritakan, rahasia yang ingin mereka sampaikan, tetapi segalanya terhalang tameng yang sengaja dibangun keduanya untuk saling menutupi kerapuhan masing-masing.

Bahkan Olivia Rodrigo yang tengah menyanyikan lagu Happier dari radio mobil, seakan mengejek situasi yang mereka hadapi saat ini.

I hope you're happy
But not like how you were with me
I'm selfish, I know, I can't let you go
So find someone great, but don't find no one better
I hope you're happy, but don't be happier

Baik Raka maupun Liora sama-sama termenung. Suara merdu serta lagu ballad yang enak di didengar itu seolah memantul karena mereka terlalu sibuk dengan pikiran masing-masing. Mereka tidak lagi peduli apa yang mereka dengar. Hanya keduanya yang kini terpasung di dalam ruang hampa, berpusar dalam kenangan dan potongan ingatan akan kenangan saat bersama.

"Mau mampir beli makan dulu?" Raka berinisiatif bertanya setelah sejak awal hanya diam.

Liora menggelengkan kepala. "Langsung pulang aja."

"Biasanya kamu selalu minta beli croffle kalau lewat sini."

Lagi-lagi Liora kembali menggelengkan kepala. "Lagi nggak kepengen aja."

Hanya obrolan singkat itu yang terjadi, karena, setelahnya mereka kembali sibuk dengan pikiran masing-masing, hingga mereka tidak menyadari jalan yang mereka lalui saat ini bukan jalan menuju rumah orang tua Liora, melainkan menuju rumah Raka yang pernah mereka tinggali bersama.

Hujan gerimis menyambut ketika mobil yang dikendarai Raka berhenti di depan gerbang. Seperti biasa, Liora pasti akan keluar mobil dan membukakan pintu gerbang agar Raka bisa langsung memasukan mobilnya ke dalam garasi.

"Kamu langsung masuk aja. Gerbangnya biar aku yang tutup," ujar Raka.

Menggunakan kunci yang masih ia miliki, Liora membuka pintu rumah dan mendapati keadaan di dalamnya sangat gelap. Satu per satu lampu dinyalakan hingga kini keadaannya terang benderang.

Saat itulah, Liora baru sadar ada di mana dirinya saat ini. Dengan cepat Liora balik badan dan langsung berhadapan dengan tubuh menjulang Raka yang baru saja memasuki rumah.

"Kenapa?" tanya Raka, menyadari ekspresi Liora yang terlihat kebingungan.

"Mas Raka kenapa bawa aku pulang ke sini?"

Raka menatap sekeliling dan sama-sama baru menyadari di mana mereka saat ini.

"Astaga," Keluhnya sambil menepuk jidatnya sendiri. "Aku nggak sadar. Sumpah. Ini di luar kesengajaan aku. Kamu sendiri kenapa nggak ingetin aku waktu masih di jalan?"

"Aku juga nggak sadar."

Mereka berdiri berhadapan dan saling bertatapan dalam sepersekian detik. Liora sampai harus mengigit bibir agar tidak kelepasan tertawa. Namun, melihat bagaimana konyolnya ekspresi Raka yang juga sedang menahan tawa, membuat mereka sama-sama tertawa. Tawa lepas yang mereka pun lupa kapan terakhir kali melakukan itu.

"Kenapa kita bisa sekonyol ini, sih?" ujar Liora masih sambil tertawa.

Raka tidak bisa mengalihkan tatapannya ke arah lain dan hanya menatap Liora dengan ekspresi sayang. Menyaksikan bagaimana lepasnya ekspresi Liora saat tertawa, rasanya lebih membahagiakan daripada sewaktu kantornya menang tender bernilai miliran rupiah. Hanya itu yang Raka inginkan. Yaitu, melihat Liora bahagia dan bisa selalu tertawa, walaupun dirinya bukan alasan di balik tawa itu.

Sebatas Angan SenjaWhere stories live. Discover now