Twenty

4.3K 425 105
                                    

"Pulanglah." kata Ray dingin. "Sebelum aku menelpon Steve dan mengatakan kau ada disini."

"Aku tidak takut cantik. Aku malah senang bertemu dengannya." kata Harry dengan tenang. "Aku tidak menyangka bahwa kau orang yang suka mengadu."

"Hal itu tergantung bagaimana kau memperlakukan ku."

"Aku rasa aku sudah cukup sopan memintamu untuk ikut denganku." Harry mulai bersandar pada kusen pintu dengan kedua tangan ia masukkan ke dalam saku celana kainnya.

"Poin utamanya adalah, aku tidak suka padamu sejak awal kita bertemu. Mau kamu sebaik apapun padaku, kalau aku tidak suka tetap tidak suka."

"Sedikit tidak adil ya."

Lagi-lagi Harry menghadang pintu yang hendak Ray tutup. Ray pun menyerah dan membiarkan pintu itu terbuka, sedang ia mulai masuk kedalam rumah.

"Woahhh..." Harry langsung mengangkat kedua tangannya saat melihat Ray kembali dengan senapan laras panjang milik Felix yang dipajang di dinding ruang keluarga.

"Aku pikir kau mau mengambil pistol, tidak tahunya malah senapan laras panjang." kata Harry sambil tersenyum. "Kau tahu, aku bisa melucuti benda itu dalam waktu tiga detik. Satu.... Dua..."

Harry bergerak dengan cepat dan berhasil mengambil senapan dari tangan Ray. Namun ia tidak memprediksi bahwa Ray juga membawa pistol kecil ditangan yang lain. Alhasil pistol tersebut sedang ditodongkan padanya.

"Pistol kaliber 22." kata Ray, "kekuatannya mampu menerobos dinding tengkorak, dan langsung menghancurkan otak beserta jaring-jaringan didalamnya. Itu berarti dalam sekali tembak kau akan langsung mati. Kau memang memegang senapan, tapi dalam jarak dekat pistol sangatlah menguntungkan."

Harry terdiam dan tidak bisa melawan, dalam sekali gerak maka Ray akan langsung menarik pelatuknya dan habislah riwayatnya. Harry belum ingin mati sekarang, meski harus dibunuh oleh orang secantik Ray sekali pun.

"Kau memilih kembali ke asalmu atau kembali pada pangkuan Yang Maha Kuasa?" tanya Ray.

"Kali ini aku menyerah. Tapi lain kali aku akan datang menemuimu lagi."

"Jawabanku tetap sama Loser. Aku tidak akan pernah ikut denganmu, sekalipun Steve yang memintanya."

"Aku bukan orang yang gampang menyerah Kenneth."

"Up to you. Sekali aku bilang tidak suka, selamanya akan tetap seperti itu." kata Ray bersikukuh.

"Kejam sekali."

"Kau yang membuat kadar ketidaksukaanku semakin bertambah setiap kalinya."

Benarkah begitu? Kalau begitu selama ini Harry sudah salah langkah.

"Pulanglah. Sebelum aku benar-benar menembakmu."

Ray menggiring Harry menuju pintu keluar.

"Hanya satu yang ingin ku katakan padamu. Aku menyukaimu Ray, tak peduli kau menyukaiku atau tidak."

Setelah bicara seperti itu Harry pun pergi meninggalkan perasaan Ray yang gelisah. Harry memang tidak berbuat apa-apa, tapi saat menatap mata pria itu Ray dihinggapi perasaan takut yang tidak biasa. Apakah karena Harry adalah keturunan keluarga Mafia? Entahlah, tiba-tiba saja Ray lari menuju kamarnya dan mengambil ponsel untuk menghubungi Steve. Rasanya ia membutuhkan Steve sekarang.

"Hallo?"

Rasa takut yang sempat menggelisahkan Ray karena kehadiran Harry tadi perlahan hilang saat suara Steve terdengar. Bahkan tanpa sadar Ray menghembuskan nafas lega.

Love Shoot! | Sungsun ✔Where stories live. Discover now