8. Istana Valkyrie

633 81 18
                                    

Jika sebelumnya Aitana tidak begitu perduli dengan yang namanya perjodohan. Tidak tertarik dengan wajah tampan Pangeran Nilo. Setampan apapun pangeran tersebut, Aitana benar-benar tidak peduli sama sekali. Baginya satu hal, kebebasannya adalah yang paling penting.

Namun perjodohan itu sangat runyam sekarang ketika Agnese begitu menentang apa yang sudah disepakati padahal jelas-jelas ketika pertemuan kala itu ia diam saja tidak melakukan apapun.

Dan kini secara tiba-tiba ketika Arrio hendak mendampingi Anya dan Aitana ke istana kerajaan, Agnese telah berdiri tepat di depan rumah dengan wajah yang terlihat marah.

"Kakakku tersayang, kita akan pergi ke istana, bukan kantor untuk bekerja. Tidakkah kau memakai setelan lebih enak dipandang di mata daripada setelan kemeja dengan celana kain seperti itu?" ejek Agnese.

"Oh adikku tersayang, aku harap kau juga tidak lupa jika kita akan ke istana bukan pemakaman, mengapa kau memakai baju dengan warna hitam? Dan belahan pada bagian kaki kirimu itu, apa kau ingin menggoda Pangeran Nilo?"

"Sebelum kita pergi ke istana, biarkan aku untuk berkata sesuatu."

Aitana menggelengkan kepalanya pelan. "Apalagi sekarang. Sungguh, aku muak sekali jika harus membahas masalah yang sama." 

"Kau bisa berkata seperti itu karena kau telah mendapatkan Pangeran Nilo!"

"Kau ingin Pangeran Nilo? Silahkan, dapatkan sosok tersebut. Kau bisa berkata pada Ayah jika kau benar-benar mau. Atau jika kau punya nyali, maka kau bisa langsung saja meminta pada Raja Nicholas. Jika mereka mengijinkan, maka kau bisa memilikinya."

"Kenapa tidak kau lepas saja?" balas Agnese.

"Dan kau akan mendapatkan Pangeran Nilo secara cuma-cuma tanpa usaha? Ayolah, Pangeran Nilo bukan barang yang bisa kau dapatkan secara mudah. Janganlah jadi wanita murahan, Agnese Alegreya."

Anya menatap pada kakak pertamanya, Arrio. Seakan memohon agar lelaki tersebut bisa menghentikan mereka berdua berdebat seperti ini apalagi tepat di depan rumah mereka sendiri. Bagaimanapun awak media pasti masih gencar mencari informasi di sekitar kediaman mereka.

Melihat Arrio yang masih saja bergeming. Mau tidak mau Anya akhirnya turun tangan. "Kak, sudahlah. Kita sudah memperdebatkan ini sedari kemarin-kemarin. Apa tidak lelah?"

"Benar kata Kak Aitana. Jika Kak Agnese menginginkan Pangeran Nilo, mengapa tidak sedari kemarin? Toh, jika masih tetap ingin, bicaralah pada Ayah. Siapa tahu Ayah bisa membantu."

Tidak mungkin Agnese berkata jika ia tidak bisa melakukan penolakan itu kemarin alasanya jelas karena ibunya, Jorgina. Yang selalu menekan Agnese dan memintanya agar dengan Pangeran Yugo saja.

"Kalian tidak akan pernah mengerti tentang diriku, kalian mana paham tentang aku!" kata Agnese pelan.

"Tidakkah kalian merasa kasihan saja padaku kali ini? Tidak mungkin bagiku kemarin menentang begitu keras tepat di depan Raja dan Ratu? Aku masih waras dan tahu diri!"

"Kak Arrio, aku juga adikmu bukan? Setidaknya jika memang begitu adanya kau menganggap aku sebagai adik, maka tolong. Untuk kali ini tolong bantu aku untuk menyakinkan Ayah."

"Bisakah kau tidak merampas kepunyaan orang lain?" sindir Arrio. "Agnese, baik kau, Aitana, Anya, kalian sama-sama adikku. Kalian sudah memiliki pasangan masing-masing, lantas apa yang dipermasalahkan?"

"Apa bedanya antara Pangeran Nilo dan Pangeran Yugo? Sama saja. Lantas mengapa kau ingin merampasnya? Tidak sekalian saja kau rampas juga Yang Mulia Damian?"

Oh, jika Agnese bisa maka akan Agnese lakukan. Hanya saja ketika masalah kemarin secara tidak sengaja Agnese melontarkan kata-kata Buruk Rupa, menyinggung Sang Putra Mahkota sepertinya akan sulit.

Be My Lady Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz