Rasa yang Bercampur

11.4K 1.5K 12
                                    

“Hei, nona. Sedang berjalan-jalan sendiri?” Seorang lelaki paruh baya dengan bau alkohol yang kuat mencoba mendekat padaku.

“Sialan.” Sepertinya ini hari yang cukup sial bagiku.

“Apa yang seorang wanita cantik lakukan di sini.” Pria itu terus-terus mendekat dan mencoba menyentuh wajahku. “Hei, diamlah sebentar. Aku hanya ingin melihat jelas wajahmu.”

“Apa-apaan ini?!?!” ku dorong pria itu dengan kasar. “Menjauhlah dariku, kau menjijikkan.”

Tiba-tiba saja dia menarik rambutku dengan kasar dan mengacungkan botol kaca. Ia mengancam akan memukulku jika terlalu banyak bergerak. “Bagaimana kalau kita bermain sebentar.” Mendengar ini benar-benar membuatku ingin muntah.

Tentu saja tidak semudah untuk menurut pada lelaki tua ini. Kutendang selangkangannya sampai ia mengendurkan genggaman eratnya pada rambutku. Bisa kulihat ada beberapa helai rambutku di tangannya.

Aku berlari sekuat tenaga untuk menjauh darinya. Karena badan Cathleen tidaklah terlalu berat, langkah kakiku terasa ringan dan lebih mudah untuk berlari. Namun, sepertinya tendanganku tidak cukup kuat untuk membuatnya berhenti mengejarku. Dengan cepat ia berlari mengikutiku dan beberapa kali mencoba menggapai bajuku.

Jujur saja aku takut dengan keadaan sekarang. Kalau tau begini harusnya aku menonton konser si artis itu yang aku lupa siapa namanya.

“AKHHH,” jeritku ketika tiba-tiba saja rambutku rasanya ditarik dengan keras. Aku mencoba berbalik dan memukul laki-laki itu, tapi tidak mengenainya.

Namun, balasannya adalah tamparan keras yang membuat bibirku berdarah dan menyisakan tanda merah di pipiku. Sekarang kucoba untuk menarik rambutnya juga. Kutarik dengan keras, sekeras tarikannya pada rambutku.

“Lepaskan, dasar kau wanita murahan.”

“Kau lelaki tua bau tanah yang harusnya melepaskanku.”

Tarik-tarikan itu disertai dengan dorong mendorong. Tentu saja tenaga pria yang mabuk itu lebih kuat dari pada seorang wanita lemah seperti Cathleen, tapi aku mencoba sekuat tenaga untuk mempertahankan posisiku dan mencari cara agar dia melepaskan genggamannya.

Kejutan datang dengan tiba-tiba ketika tulang kering di kaki kananku ditendang dengan cukup keras. Membuatku melepaskan genggamanku pada rambutnya. Sadar aku kehilangan tenaga, pria mabuk itu melepaskanku dan membiarkanku terjatuh dengan kaki yang kesakitan.

Aku mengeluh kesakitan sambil melihat bekas tendangan yang membiru. Air mataku tak bisa tertahan untuk keluar. Ini benar-benar sakit.

“Sakit bukan? Harusnya kau mengikuti kata-kataku dari awal,” ucapnya mendekat sambil mengelus pipiku yang bekas ia tampar tadi.

“Apa kau tidak tahu siapa aku? Aku Duchess Cathleen Orion, istri dari Cedric Orion dan bangsawan paling dihormati di seluruh penjuru kerajaan ini,” ujarku beranikan diri dengan suara yang menggetar karena sambil menahan tangisanku.

Dia tertawa terbahak-bahak. “Mana mungkin orang kaya seperti mereka ada di tempat kumuh seperti ini.” Dia menatapku dengan tatapannya yang mesum. “ Cobalah berbohong dengan sesuatu yang mudah dipercaya nona cantik.”

“Menjauhlah.” Tenagaku sudah benar-benar terkuras habis. Yang bisa kulakukan sekarang hanya berharap tidak ada sesuatu yang serius terjadi padaku.

“Ayolah, tersenyum nona cantik. Mari kita berma-” Ucapannya terhenti ketika tiba-tiba saja seorang menendangnya dan membuatnya terlempar cukup jauh.

“Apa yang kau lakukan pada istriku? Kau manusia rendahan.”


“Cedric

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


“Cedric.” Aku mencoba memanggilnya, tapi seperti sudah termakan emosi, Cedric fokus dengan memukuli pria itu. Wajahnya dipenuhi amarah dan auranya sekarang sangat menyeramkan. Aku bahkan kasihan dengan pria itu. Ia benar-benar babak belur berdarah-darah.

”CEDRIC.” Sekarang dengan teriakan. Yah, akhirnya ia menoleh padaku.

Sadar apa yang dilakukannya sekarang hanya lah membuang waktu, Cedric dengan sigap menghampiriku yang masih di posisi yang sama. Terduduk di tanah kesakitan karena kakiku ditendang pria sialan itu.

Ia memegang kedua pipiku dan membuatku meringis kesakitan karena bekas tamparan pria itu masih terasa sakit. “Jangan pegang kepala atau wajahku. Semuanya sakit,” keluhku padanya.

Sorot mata Cedric yang tadinya khawatir, kembali penuh amarah. “Maafkan aku.” Dia mengelus tanganku dengan lembut. “Tunggulah di sini biar ku bunuh orang itu.”

Ehhh? Tidak bisa seperti itu. Aku sudah kesakitan seperti ini harusnya Cedric mengutamakan istrinya terlebih dahulu.

“Biarkan saja dia.” Kutarik tangan Cedric untuk tidak menjauh dariku. “Bisakah kamu membawaku pergi dari sini? Aku sangat lelah."

Cedric tampak diam sebentar. Sepertinya dia sedang mengatur emosinya. Yah, akhirnya dia menuruti perkataanku, dan kembali padaku.

“Apa ada lagi yang luka?” tanya Cedric sambil memperhatikan seluruh bagian dari tubuhku.

Aku memperlihatkan kaki kananku yang membiru padanya dan berkata, “Sepertinya aku tidak bisa berjalan dengan lancar untuk ke pesta nanti.” Aku khawatir karena lebam di kaki in tidak akan sembuh hanya dalam satu dua hari saja. Butuh waktu beberapa minggu untuk bisa pulih dengan sempurna.

“Maafkan aku.” Cedric memelukku dengan erat, tapi di saat yang bersama dia memelukku dengan berhati-hati agar aku tidak kesakitan. “Kukira hanya aku sendiri bisa menjagamu. Ternyata aku salah.”

Dalam dekapan Cedric aku merasa terharu. Aku sadar sekarang sudah ada Cedric bersamaku, dan tidak ada yang menyakitiku lagi. Ini membuat emosiku bercampur antara sedih dan marah.

Pada akhirnya yang bisa kulakukan hanya menangis sambil mengomel pada Cedric. “Kamu ke mana saja? Aku takut sendirian di sini.”

“Maafkan aku, istriku.”

“Rambutku ditarik, pipiku ditampar, kakiku ditendang.” Aku menangis kencang dalam pelukannya. “Ini sakit sekali.”

Kupukuli bahu Cedric dengan sekuat tenaga untuk meluapkan emosi, sedangkan di sisi lain Cedric malah mengelus punggungku dengan lembut untuk menenangkanku.

“Kenapa lama sekali? Apa kamu mau aku celaka?”

“Maaf, aku janji tidak akan ada lagi orang yang bisa menyakitimu.” Cedric melepaskan pelukannya. “Ayo, kita pulang.”

Aku hanya bisa pasrah saja di dalam gendongannya. Aku benar-benar lelah dan tidak punya tenaga untuk melakukan apa pun. Kubiarkan dia menggendongku sampai ke kereta kuda.

Mendudukkanku dan kemudian berlutut dihadapanku.

“Apa yang kamu lakukan?” tanyaku penasaran.

Tanpa menjawab pertanyaanku, ia membersihkan bekas tanah yang menempel pada bajuku. Dengan telaten ia memperhatikanku dan memastikan bahwa aku benar-benar dalam kondisi nyaman.

“Aku tidak tau cara untuk menghilangkan rasa sakitmu, tapi katakan saja apa yang kamu inginkan sekarang. Apa pun itu akan kulakukan.” Dia menatapku penuh harap. “Sesampainya di rumah akan kucarikan dokter paling hebat untuk merawatmu nanti. Jadi, katakan saja apa yang kamu inginkan.”

Aku mengusap bekas air mata yang tersisa di wajahku. Mencoba berpikir tentang memanfaatkan situasi ini agar masa depanku bisa berubah. “Tentang perceraian itu ....” aku mencoba menggantung ucapanku untuk melihat reaksi Cedric.

“Apa pun itu asal bukan tentang perceraian. Kumohon, Cathleen.” Raut wajahnya tampak meredup tidak bersemangat dan takut-takut untuk membicarakan hal ini.

“Tenanglah, aku tidak ingin bercerai denganmu.” Cedric tampak menemukan kembali jiwanya yang hilang. Sekarang dia memperhatikanku dengan saksama. “Oleh karena itu, kamu juga jangan pernah menceraikanku. Apa pun yang terjadi percayalah padaku.”

“Percaya padamu? Itu hal yang mudah.”

Yah, aku tau itu. Bahkan di cerita aslinya kamu percaya dengan Cathleen sampai rela mati untuknya. Aku tidak meragukan kepercayaanmu, tapi ini hanya untuk berjaga-jaga saja jika sesuatu yang tidak terduga terjadi. Sesuatu hal yang mungkin membuat posisiku berbahaya. Aku hanya butuh satu orang untuk percaya padaku, dan orang itu adalah Cedric.

Aku tersenyum manis padanya. “Terima kasih, suamiku.”

“Apa pun untukmu, istriku.”

I Am The Duchess Of This HouseWhere stories live. Discover now