Kalung Biru Safir

11.3K 1.5K 8
                                    

“Nyonya Cathleen harus beristirahat selama dua minggu jika ingin pergi ke pesta kemenangan.” Itu yang dikatakan dokter padaku kemarin.

Dua minggu beristirahat di kasur dan tak boleh terlalu lama menggunakan kaki merupakan suatu hal yang amat sangat merepotkan bagiku. Padahal ini baru satu hari, tapi rasanya aku sudah mau mati kebosanan. Yang bisa kulakukan hanya rebahan dan duduk saja. 

“Kenapa kamu terlihat cemberut seperti itu?” tanya Cedric yang sedari kemarin selalu menemaniku di dalam kamarku. Bahkan ia rela memindahkan meja kerja dan segala dokumen penting itu ke dalam sini. Memang tipikal suami idaman.

“Aku ingin berjalan-jalan keluar.”

“Tidakkah kamu lihat kakimu yang cedera itu?”

Aku mendengus sebal. “Iya, suamiku. Istrimu ini sudah melihat kakinya yang terluka dan sekarang dia ingin berjalan-jalan keluar karena dia bosan.”

Cedric tampak tersenyum walau fokusnya masih ada pada setumpuk kertas yang butuh ia periksa. Aku memperhatikannya dengan saksama. Cahaya matahari yang menebus jendela membuat dirinya tampak lebih silau. Rambut pirangnya itu benar-benar bersinar saat terkena cahaya. Matanya yang fokus itu juga sangat menggoda. Di mana lagi aku bisa menemukan orang seperti ini selain Cedric? Tidak akan ada selain di dunia fiksi.

“Kenapa melihatku seperti itu?” ternyata dari tadi Cedric sadar tau aku memperhatikannya.

“Tidak, tidak ada.” Aku bergegas membelakanginya. Aku malu karena ketahuan memperhatikannya.

Keheningan menyelimuti ruangan ini. Yang bisa kudengar hanya suara coretan pena dan lembaran kertas yang terus dibolak-balik. Keheningan ini tidak terasa canggung, aku merasa nyaman dengan keadaan ini.

Dalam keheningan ini tiba-tiba saja aku terpikir sesuatu. Aku berbalik lagi menghadap Cedric dan berkata, “Hei, bisakah kamu mengambil kalung biru safir yang ada di laci meja riasku?”

Cedric menatapku sebentar kemudian langsung berjalan menuju meja riasku. Ia membuka laci bagian atas kemudian mencari dengan teliti. Lanjut di laci kedua pun dia tidak menemukan kalung itu.

“Di mana kamu menyimpannya?”

“Aku selalu menyimpan di situ. Tidak mungkin aku lupa.”

“Tapi tidak ada kalung biru safirmu di sini.”

Aku langsung bangun dari rebahanku. Tiba-tiba duduk membuatku refleks untuk menggerakkan kakiku juga. Aku meringis kesakitan memegang kaki kananku.

Cedric langsung datang menghampiriku dan berkata, “Jangan terlalu banyak bergerak. Kakimu masih cedera.”

“Ya, aku tau, tapi kalung itu lebih penting sekarang.”

“Kenapa dengan kalung itu?” Cedric mengernyitkan dahinya tanda ia bingung dengak kelakuanku sekarang.

Dengan mencoba memasang ekspresi panik aku kemudian berkata, “Itu pemberian ibuku, barang itu lebih berharga daripada diriku.” Aku mencoba untuk berdiri. “Tolong bantu aku berdiri, biar aku yang mengecek sendiri.”

Tanpa protes Cedric membantuku untuk bangkit. Padahal aku hanya meminta tolong untuk dibantu berdiri, tapi dia malah menggendongku sampai ke depan meja rias.

Sesampainya di meja rias, aku mulai mengeluarkan semua isi di dalam dua laci itu, tapi hasilnya nihil. Tak ada satu pun kalung dengan batu safir berwarna biru di dalamnya. “Di mana?” aku terus mengulang kata-kata itu sampai membuat Cedric panik melihatku.

“Hei, tenanglah.” Cedric mengelus bahuku dengan lembut. Dia mencoba mengumpulkan barang yang kulempar keluar dari laci.

Tak menemukan apa-apa akhirnya yang bisa kulakukan adalah mencoba untuk menangis dengan menutup wajahku. Cedric yang sadar kalau kalung tidak akan hilang dengan sendirinya kemudian memanggil beberapa pelayan untuk masuk ke kamar.

I Am The Duchess Of This HouseWhere stories live. Discover now