Orang Baru

4.6K 580 58
                                    

Seorang dengan jubah hitam panjang menutupi hampir seluruh tubuhnya, masuk ke dalam sebuah rumah dengan tergesa-gesa. Tak butuh waktu lama baginya untuk melepas jubah lusuh itu dan melemparnya sembarangan. Selain jubah, orang itu juga melepaskan rambut palsu berwarna hitam.



Disimpannya baik-baik rambut palsu itu di atas meja dan kini menatap kaca. Menatap dirinya sendiri yang terbalut riasan yang cukup tebal. Rambut merahnya yang panjang, kini sudah dipotong sampai sebahu saja. Ini dia lakukan agar tak kesusahan untuk memakai rambut palsu.

Riasan yang menempel di wajah membuatnya terlihat lebih tua. Sengaja dia melakukan ini agar tak ada yang mengenalinya. Zoya benar-benar dalam penyamaran paling terbaiknya. Itu yang dia pikirkan, tapi sepertinya anak buah Cedric sudah mulai menyadari jejaknya di sekitar sini. Oleh karena itu, dia harus cepat-cepat meninggalkan tempat ini dan mencari tempat baru.

"Istirahatlah semalam di sini, biar aku yang mengurus anak buah Cedric." Seseorang tiba-tiba saja sudah duduk manis di kasur milik Zoya, "Membuat mereka sibuk semalam bukan hal yang sulit bagiku."

Zoya hanya menatapnya sekilas dan kembali fokus untuk menghapus riasan di wajah cantiknya. "Kemana lagi aku harus pergi?" Suasana hati Zoya sekarang sangat tidak baik. Dia kesal sekali karena jejaknya terus saja bisa ditemukan oleh Cedric. Zoya harus menyingkirkan Cathleen terlebih dahulu. Setelah itu baru dia akan dengan senang hati datang kepada Cedric.

"Aku sudah menyiapkan tempat yang bagus untuk persembunyianmu. Di sana kamu menyamar dengan lebih baik." Laki-laki itu berdiri dan mendekat pada Zoya. Memberikan secarik kertas yang membuat Zoya penasaran.

"Pelayan di kediaman Bellanca? Maksudmu aku harus bekerja menjadi pelayan lagi?" Zoya tidak senang dengan usulan ini.

"Tentu saja. Kamu harus bekerja di sana dan pura-puralah menjadi pelayan yang bisu." Laki-laki itu tersenyum dengan manis. Berbanding terbalik dengan Zoya yang menatapnya sinis. "Aku sudah mengatur semuanya. Kamu hanya perlu bekerja di sana. Sisanya akan kita bicarakan nanti."

"Bagaimana jika aku tak mau?" Senyumnya luntur, membuat Zoya sedikit merinding.

"Apa kamu punya pilihan yang lain? Ingat, kita punya tujuan yang sama," ucapnya dengan penuh keyakinan. Tanpa menunggu jawaban apapun dari Zoya, laki-laki dengan setelan baju yang mewah dan mahal itu, pergi meninggalkan Zoya sendirian di rumah ini.

Zoya hanya bisa menyalurkan kekesalannya lewat surat yang dia remas itu. Jika saja dari awal Cathleen tidak berubah pikiran untuk cerai dengan Cedric, pasti Zoya tidak perlu kesusahan seperti ini.

Kini dia harus menyingkirkan terlebih dahulu hama yang paling mengganggu baginya. Setelah itu, Zoya bisa hidup bahagia dengan pasangan hidupnya, Cedric.

***

Keberadaan Zoya beberapa kali sempat terlacak oleh anak buahnya, tapi Cedric tetap tak bisa menemukan perempuan berambut merah itu. Selalu saja ada penghalang yang seakan-akan sengaja menutupi semua jejak Zoya. Jika sudah begini, Cedric yakin ada seseorang yang membantu Zoya dalam hal menghilang.

Masalahnya adalah Cedric punya banyak sekali orang yang tak suka dengannya. Dia bahkan bingung harus memulai untuk menyelidiki dari mana tentang orang-orang yang berkemungkinan membantu Zoya. Inilah salah satu hal yang membuat pekerjaan Cedric makin banyak.

Tentang paket itu, surat yang Cathleen kira hanya berisi huruf acak dan tak bermakna, sebenarnya adalah mantra sihir terlarang. Jika ketahuan memegang atau terlibat dalam hal yang berbau sihir, mau bangsawan ataupun rakyat biasa akan terkena hukuman dibakar secara hidup-hidup. Cedric jelas harus menyingkirkan barang ini, walau dia sebenarnya tak yakin apa sihir itu benar adanya. Namun, apapun yang mengancam istrinya, harus segera disingkirkan. Termasuk Zoya.

"Apa yang kamu lakukan?" Di Tengah kepala yang pusing memikirkan berbagai dokumen pekerjaan, Cathleen datang membawa nampan dengan dua gelas teh. Menghirup aromanya saja sudah membuat senyum Cedric terukir jelas. Entah ini efek teh atau karena melihat kedatangan istrinya, Cedric pun tak tahu.

Cedric menatap istrinya dengan lekat. Masih jelas diingatannya ketika Cathleen mengamuk meminta cerai. Pada saat itu, Cedric benar-benar dalam masa yang terpuruk. Dia memilih untuk melarikan diri lewat perang agar bisa menenangkan dirinya. Berharap kepulangannya nanti, Cathleen akan melupakan semua kata cerai dalam otaknya.

Yah, harapannya terkabul. Kepulangannya dari perang membawa berkah. Cedric saat itu sebenarnya sudah menyiapkan mental jika Cathleen ingin kembali mengajaknya bertengkar. Namun, saat itu Cathleen menyambut kedatangannya. Cedric sangat senang. Ingin rasanya dia memeluk Cathleen dengan erat, tapi takut kalau Cathleen hanya bersikap baik padanya dalam waktu singkat.

Oleh karena itu, Cedric berusaha untuk bersikap biasa saja pada Cathleen, cedric ingin melihat seberapa lama kebaikan Cathleen bertahan dan ternyata sampai sekarang. Sudah tak ada lagi keraguan dalam hati Cedric bahwa Cathleen ingin menceraikannya. Cedric benar-benar yakin bahwa Cathleen sudah berubah menjadi lebih baik. Tak ada perubahan yang berarti pada sifat Cathleen selain sifat marah-marahnya yang hilang entah kemana.

"Apa yang kamu lamunkan seperti itu?" Dengan kening mengkerut, Cathleen menatap Cedric dengan penuh tanda tanya.

"Tidak ada, hanya mengingat masa lalu saja." Cedric bisa melihat ada sedikit raut kepanikan dalam wajah istrinya ketika dia mengatakan hal ini.

"Masa lalu?" Cathleen ternyata tak cukup pandai untuk menyembunyikan perasaannya di depan Cedric.

"Iya, disaat kamu terus-terusan meminta cerai." Cedric ingin membahas hal ini. Rasanya ini adalah waktu yang tepat, tapi Cathleen terlihat tak ingin topik ini dibicarakan. "Kenapa kamu gelisah seperti itu?"

"Aku hanya tak suka kita membahas masa lalu. Biarkan masa lalu menjadi yang lalu. Tak usah dibicarakan lagi."

"Baiklah." Cedric memilih mengalah. Benar juga apa kata Cathleen, masa lalu menjadi yang lalu. Toh sekarang Cathleen sudah sepenuhnya menjadi miliknya. Tak ada juga kata cerai yang dia lontarkan. Hubungan seperti ini yang Cedric suka. "Tapi ...." Cedric menggantungkan ucapannya untuk melihat reaksi Cathleen.

"Tapi apa?"

"Tapi kenapa kamu duduk di sofa sana? Aku sudah menyiapkan kursi di sampingku untuk kamu duduk." Cedric menatap istrinya yang duduk di sofa. Padahal dia sudah menyiapkan dua kursi di meja kerja ini. Satu untuk dirinya dan satu lagi untuk Cathleen. "Duduklah di sini." Cedric menepuk-nepuk kursi di sampingnya.

"Kalau aku duduk di sana, apa kamu yakin pekerjaanmu bisa selesai? Kamu pasti akan terus menempel padaku sampai melupakan pekerjaanmu. Dion sudah menegurku untuk tak terlalu sering berkunjung ke sini."

Mendengar hal itu, Cedric tertawa. Benar kata Cathleen, pekerjaanya belum tentu selesai jika Cathleen duduk di sampingnya. Bagi Cedric, Cathleen adalah sumber hiburan utamanya. Jika sudah bersamanya, Cedric bisa melupakan pekerjaannya. "Aku janji tak akan mengganggumu, jadi duduklah di sini." Cedric sekali lagi membujuk Cathleen agar mau duduk di sampingnya.

"Tidak, niatku ke sini hanya mengantarkan teh untukmu. Setelah tehku habis, aku akan pergi dari sini." Cathleen tetap pada pendiriannya. Dia tak boleh terus-terusan menjadi penghalang suaminya dalam bekerja.

"Sekali saja."

"Tidak."

"Ayolah, duduk di sini."

"Tetap tidak."

Begitulah siang hari Cedric dan Cathleen diisi dengan cekcok yang tak ada artinya. Yah, pada akhirnya mereka pun duduk berdua dan kalian pasti tahu apa yang terjadi setelahnya.

***

I Am The Duchess Of This HouseWhere stories live. Discover now