Siapa itu?

7.7K 970 1
                                    

Cathleen sedang berada di kamarnya sambil bersenandung pelan. Besok adalah hari yang dinanti-nantinya, yaitu pesta teh. Kurang lebih butuh waktu dua minggu untuk Cathleen bisa menyiapkan acara ini. Dia sudah tak sabar untuk bertemu para nona-nona bangsawan untuk menjadi temannya.

Sambil menyisir rambutnya, Cathleen membaca buku tentang etiket edisi terbaru. Dia baru sadar kalau pesta teh saja ada banyak aturannya. Sungguh membuatnya pusing kepala. Sudah setengah halaman dia baca, tapi rasa mengantuknya sudah mendominasi. Sepertinya ia harus tidur, mengingat waktu sudah menunjukkan lewat tengah malam dan dia harus terlihat segar besok.

Ditutupnya buku itu dan ditinggalkannya di meja bersama dengan sisirnya. Berjalan menuju kasurnya, tiba-tiba saja dia mendengar suara dari pintu balkon kamarnya. Cathleen mematung tak tahu harus melakukan apa.
Suara itu menjadi semakin jelas.

Sepertinya ada yang mau membuka pintu itu secara diam-diam. Berusaha menenangkan diri, diam-diam Cathleen mengambil pisau kecil yang biasa dipakai untuk membuka amplop surat. Kemudian dia mundur menuju pintu keluar. Dia memilih cari aman untuk tidak mendekat pada sumber suara.

Haruskah dia memanggil Cedric?

Kamarnya dengan Cedric tidak jauh, ia hanya perlu berteriak di koridor pun pasti akan didengar Cedric.
Iya, lebih baik dia memanggil orang terkuat di sini, daripada harus berhadapan dengan sesuatu yang dia tidak ketahui kekuatannya.

Cathleen membuka pintu kamarnya, dia berlari menuju kamar Cedric dan langsung mengetok dengan keras. “Cedric, cepat buka!”

Dengan mata mengantuk, Cedric membuka pintunya. Dia bersandar pada pintu itu dan melihat istri kesayangannya di depan mata dengan ekspresi takut.

“Ada apa?” Dengan sigap Cedric langsung meraih Cathleen dalam pelukannya. Dipegangnya pipi istrinya itu dan menatap  dengan rasa penasaran yang tinggi.

Cathleen menunjuk kamarnya. “Ada seseorang di pintu balkon kamarku.”

Tanpa basa-basi Cedric langsung mengambil pedang kesayangannya dan berjalan dengan penuh amarah menuju kamar Cathleen. Di belakangnya ada Cathleen yang setia mengikuti seperti anak kucing.

Masuk ke kamar, suara dari luar pintu itu masih ada. Pedang Cedric pun sudah ia buka dan siap menebas siapa pun di depannya. Cedric menoleh ke belakang, dilihatnya istrinya itu bahkan tidak berani masuk ke dalam. Dia Cuma berani menunggu di pintu.

Cedric berjalan mendekat. Dengan sekuat tenaga, Cedric menendang pintu itu sampai terbuka. Dia melihat keseluruhan balkon itu, tapi tidak ada seseorang yang mencurigakan seperti yang dia pikirkan. Yang hanya ada seekor kucing berwarna putih yang berdiam di pinggir balkon. Sepertinya suara-suara itu berasal dari kucing ini.

Cedric menghela napas lega. Setidaknya tidak ada yang membahayakan istrinya. Perasaan takut akan kepergian istrinya itu kembali lagi. Cedric masih ingat dengan jelas sebelum ia pergi berperang bahwa beberapa kali istrinya ingin dicelakai. Dia tidak mau hal itu terjadi lagi. Jadi, sekarang Cathleen tidak boleh terluka satu inci pun. Cedric akan merasa menjadi orang gagal jika tidak bisa melindungi istrinya.

Dia juga masih ingat perasaan marah yang benar-benar memuncak mau meledak ketika Cathleen dilukai oleh seorang yang mabuk saat ia dan Cathleen berjala-jalan di festival. Sampai sekarang, orang itu berada di sebuah penjara dengan keadaan yang menyedihkan. Membiarkan orang itu mati bukanlah cara Cedric.

“Cathleen, ini hanya kucing.”

“Benarkah?” Cathleen langsung berlari menuju balkon. “Kukira tadi ada seseorang yang mau masuk.”

Cathleen menggaruk kepalanya kebingungan. Sekarang ia tidak tahu mau berekspresi seperti apa. Di satu sisi dia lega kalau suara itu kemungkinan besar berasal dari kucing ini, tapi di sisi lain dia malu karena membuat Cedric harus mengurus hal seperti ini.

Cathleen tertawa dengan canggung. “Tapi baguslah kalau itu hanya kucing.” Baru saja Cathleen mau mengelus kucing itu, tapi hewan berbulu itu malah melompati balkon dan meninggalkan suasana yang lebih canggung lagi.

Enggan berada di suasana seperti ini lebih lama, Cathleen memilih berdiri dan masuk ke dalam. “Masuklah, aku mau menutup pintunya.” Cedric pun masuk ke dalam kamar dan Cathleen langsung menutup pintu itu

Namun, ternyata pintu itu jadi rusak setelah ditendang oleh Cedric. Alhasil, pintu itu bisa tertutup, tapi tidak bisa dikunci. Cathleen masih bersikeras untuk mengunci pintu itu.

“Sepertinya pintu itu rusak,” ucap Cedric mengintip dari belakang Cathleen.

“Yah, mungkin.”

“Biarkan saja pintu itu.” Cedric berjalan menuju kasur milik Cathleen. “Ayo, kita tidur.” Cedric sudah merebahkan dirinya dengan nyaman dan juga menyiapkan bantal untuk Cathleen di sampingnya.

Melihat hal itu detak jantung Cathleen menjadi tidak karuan. Dia memang sudah beberapa kali tidur bersama dengan suaminya ketika dia sedang sakit, tapi Cathleen sampai sekarang belum terbiasa tidur dengan seseorang di sampingnya.

Melihat Cathleen yang mematung terdiam, Cedric berkata, “Apa yang kamu lakukan? Cepat ke sini dan tidurlah.” 

“I-iya.” Cathleen meringis terhadap reaksi gugupnya ini. Dengan berjalan pelan menuju kasur, detak jantung Cathleen makin keras. Mungkin Cedric akan mendengarnya.

Cathleen kemudian merebahkan dirinya, tapi dia membelakangi suaminya. Dia menggunakan rambut panjangnya itu untuk menutupi wajahnya yang memerah. Di satu sisi, Cedric yang memperhatikan kelakuan istrinya itu tidak bisa menahan senyumnya. Diselimutinya Cathleen sampai menyisakan kepala saja yang tidak tertutup selimut. Bisa dia lihat Cathleen yang terkejut ketika dia melakukan itu.

“Cathleen,” panggil Cedric dengan lembut.

“Ya?” jawab Cathleen pelan.

“Apa dinding lebih menarik dari pada suamimu?”

“Hah? Apa maksudmu?”

“Kenapa membelakangiku dan lebih memilih menghadap dinding?”

“Tidak, bukan seperti it-”

“Kalau begitu lihat aku.”

Butuh beberapa detik untuk Cathleen berani menghadap Cedric, tapi tetap saja wajahnya masih tertutup rambutnya yang segelap malam itu. “Sudah, kan?”

“Kenapa menutup wajahmu dengan rambut?”

“Hanya ingin saja.”

Dengan lembut Cedric menyingkirkan rambut-rambut yang menghalanginya untuk melihat wajah istrinya. Di situ ia lihat bahwa wajah istrinya sudah memerah hampir seperti tomat. Cedric benar-benar suka melihat ini.

Dia merasa hanya dengan istrinya saja dia bisa merasakan berbagai emosi yang baru. Cathleen benar-benar dunia Cedric. Rasanya Cedric ingin menyimpan Cathleen hanya untuk dirinya sendiri. Fantasi liarnya berkata untuk tidak membiarkan Cathleen berinteraksi dengan orang selain dirinya. Cathleen hanya boleh melihatnya, bersamanya, dan hidup dengannya.

Namun, Cedric sadar kalau hal itu akan sangat berbahaya. Dia menggelengkan kepalanya mencoba menghilangkan pikiran liar itu dalam kepalanya.

“Ada apa?” Cathleen bertanya-tanya melihat kelakuan Cedric.

“Tidak, tidak ada.” Cedric meraih Cathleen erat ke dalam pelukannya. “Ayo kita tidur,” ucapnya sambil mencium kening istrinya.

Sedangkan Cathleen yang menerima perlakuan itu jadi makin memerah. Sepertinya malam ini dia akan susah tidur.






I Am The Duchess Of This HouseWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu