A1 || Chapter 9 || the Last Target

785 117 1
                                    

Tidak ada yang berbicara tentang kejadian semalam. Keadaan kegiatan belajar-mengajar berjalan seperti biasanya.

Seluruh bangunan yang rusak semalam telah kembali seperti semula seolah tidak terjadi apa-apa. Murid-murid yang semalam mendengar bunyi ledakan secara mengejutkan tidak mencoba untuk bercerita tentang hal itu.

Semua berjalan seperti biasa.

Kecuali bagi Azra Heinst dan Faira Heinst. Keduanya saat ini sedang berhadapan dengan Ketua Badan Pengawas di dalam ruang BK.

Keduanya sebelumnya baru saja menginjakkan kaki ke sekolah ketika langsung berpapasan dengan Ketua, seolah-olah dia memang telah menunggu mereka. Ketua datang dengan senyum hangatnya dan sapaan cerianya seperti biasa, tidak ada yang berbeda.

Tetapi siapa tahu apa yang sebenarnya dipikirkan olehnya?

Azra menarik ujung lengan baju kembarannya, tampak ragu-ragu dan khawatir. Dirinya terbangun dari tidur dengan keadaan tubuh yang sakit dan terasa seperti terikat dengan kencang. Seolah-olah dalam tidurnya, dirinya diremukkan oleh sesuatu dan kemudian dikembalikan seperti semula.

Dia memiliki firasat bahwa kenapa dirinya dipanggil kemari ada hubungannya dengan hal itu.

"Ketua, apakah kami membuat kesalahan?" tanya Faira dengan hati-hati. Dia telah membuat kasus pada hari pertama, jika sekali lagi dia membuat kasus, dia tidak yakin bisa belajar dengan nyaman.

Gempa melihat kegelisahan keduanya tersenyum lembut. "Tenang saja, kalian aman dari kasus. Dibandingkan pelaku, salah satu dari kalian adalah korban." Manik gold tersebut menatap Azra penuh makna.

Faira melihat ke arah adiknya dengan tak percaya. "Az! Kau tidak apa-apa?!"

Ekspresi Azra sendiri membeku. Mata oranye miliknya terangkat menatap Ketua gemetar. 'Jadi, semalam itu benar-benar?' Memikirkan hal itu, Azra justru semakin ketakutan hingga air mata mulai menggenang di sudut matanya.

Sebagai seseorang yang berbagi darah keturunan, Faira merasa perasaan yang bercampur saat melihat Azra mulai menangis. Saudaranya memanglah cengeng, pengecut, dan lemah. Karena itu, Faira selalu ingin menjadi lebih kuat untuk melindunginya.

Gadis tersebut menarik tubuh saudaranya ke dalam pelukan eratnya.

Gempa melihat itu juga merasa simpati. Dirinya beranjak dari duduk dan berdiri di belakang Azra. Tangannya mengelus puncak kepala keduanya dan bersenandung ringan.

Mendengar senandung merdu tersebut, hati keduanya secara perlahan rileks. Ekspresi keduanya dengan jelas menunjukkan rasa mengantuk dan tampak akan jatuh tertidur dalam sekejap.

Pemilik manik gold menepuk pelan bahu keduanya. Dengan kepala direndahkan, Gempa berbisik tepat di telinga Heinst bersaudara. "Tak apa, kalian selamat. Tidak akan ada siapa-siapa yang bisa melukai kalian."

Keduanya menjawab dengan lirih. Mendengarnya, Gempa hanya tersenyum tipis sebelum beranjak kembali ke posisinya semula. Kali ini Heinst bersaudara lebih tenang daripada sebelumnya, meski tangan keduanya masih saling terkait satu sama lain.

Yah, Gempa tidak peduli. Selama keduanya bisa mendengarkan penjelasannya dengan baik, itu saja.

"Jadi, apa yang terjadi, Ketua?"

Gempa mengambil waktu membaca ekspresi Azra untuk sementara sebelum kembali menatap Faira. "Pertama-tama, ada yang ingin ku tanyakan padamu, Azra." Mengatakan hal itu, kelopak mata Gempa menurun setengahnya, hampir menutup manik mata yang indah itu.

"Apa yang kau ingat terakhir kali, ketika pulang sekolah?"

Itu adalah pertanyaan sederhana. Tetapi entah kenapa, Azra merasa merinding mendengarnya. Terutama dengan ekspresi tenang dari Ketua. Seolah-olah dia melupakan sesuatu yang besar.

Little Secret (Revisi)Where stories live. Discover now