A2 || Chapter 20 || Traitor

424 73 25
                                    

Thorn ketakutan. Setelah ledakan hasil serangan saudaranya yang lain, tiba-tiba saja dirinya berpindah ke tempat asing, bukan lagi di atas pohon. Tubuhnya masih lemah setelah mengaktifkan sihir para elf, jadi Thorn membutuhkan saudaranya untuk melindunginya untuk sementara.

Tetapi sekarang, dia sendirian. Dalam kondisi yang rentan diserang.

Mengambil nafas, Thorn memilih untuk tetap diam di posisinya. Dia tidak tahu dimana dirinya dibawa, dan tentunya ia tidak berani mengambil tindakan secara sembarang. Walau bukan pilih yang bagus untuk diam di tempat asing, tanpa sebuah persiapan apapun dan, terutama, dalam keadaan lemah.

Tetapi semakin sedikit Thorn bergerak, semakin cepat dia mendapatkan kembali sihirnya.

Tingkat kewaspadaan Thorn berada di tingkat tertinggi. Suasana di hutan terlalu sunyi, tanpa sedikit pun suara serangga atau gesekan antara dedaunan. Benar-benar sepi sunyi, membuat bulu kuduk Thorn berdiri.

Suasana yang sunyi membuat inderanya menjadi semakin tajam. Setiap detik berlalu, rasanya seperti ada yang mengawasi gerak-geriknya dari balik bayangan. Thorn menahan rasa takutnya.

Srrkk... Srrkk....

Bunyi gesekan semak terdengar. Thorn seketika menolehkan kepalanya, tubuhnya menegang dan darahnya mengalir cepat. Detak jantungnya bergemuruh, menyiksa dadanya.

Walau bagaimana pun, Thorn siap jika kondisi mengharuskannya untuk bertahan.

Suara dari semak-semak itu semakin jelas. Netra hijau Thorn fokus menatapnya. Telapak tangannya terbuka, siap melancarkan sihir seandainya siapa pun sesosok di balik semak-semak tersebut.

"Thorn?"

"... Gem?"

Rasa lega menyebar ke seluruh tubuh Thorn. Air matanya keluar tanpa mampu dia perkirakan dan tahan. Belum sempat Thorn berlari ke arah Gempa, pemuda itu yang paling pertama berlari ke arahnya, menarik Thorn ke dalam pelukan hangatnya.

"Thorn! Ya ampun, Thornie! Terima kasih celestial!"

"Gem... hiks... Thorn takut..."

"Shh, shh, sudah, tak apa. Gem sudah di sini."

Ditenangkan begitu justru membuat air mata Thorn semakin mengalir deras. Kelegaannya semakin membesar, seluruh tubuhnya yang tegang dengan cepat rileks ke dalam dekapan hangat Gempa. Ia menenggelamkan wajahnya pada ceruk leher Gempa, menghirup aroma menenangkan yang menguar dari sana.

Mengatakan bahwa dia selamat, bahwa dia aman di dalam dekapannya.

Keduanya terdiam dalam posisi yang sama selama beberapa menit, yang terasa berjam-jam bagi Thorn. Elusan halus tangan Gempa di kepalanya membuatnya merasa mengantuk, ingin mengistirahatkan seluruh sistem tubuhnya untuk sementara.

"Thorn, jangan tidur."

Suara halus itu membangunkannya. Thorn mengintip dari sela-sela rambutnya, melihat ekspresi lembut di wajah menawan Gempa. "Kita harus mencari tempat bersembunyi, di sini tidaklah aman," ucapnya perlahan, mencubit kecil pipinya.

Dengan berat hati, Thorn melepaskan diri dari dekapan hangat itu. Tetapi ia menanamkan dalam hatinya, bahwa perkataan Gempa memang benar.

Mereka perlu segera pergi ke tempat lain yang jauh lebih aman. Berdiri di lapangan terbuka sama saja menyerahkan diri untuk disantap oleh monster atau binatang buas.

Gempa menarik tangan Thorn, memimpin jalan. Keduanya berjalan dalam suasana sepi, tidak ada yang membuka percakapan. Atau lebih tepatnya tidak tahu bagaimana memulai percakapan.

Little Secret (Revisi)Where stories live. Discover now