A3 || Chapter 24 || Don't Be Fooled

501 78 6
                                    

Taufan menatap kosong ke luar. Karena kejadian kemarin, sekolah di liburkan selama seminggu disebabkan antisipasi dari serangan susulan. Kondisi Thorn dan Solar cukup parah hingga dikirim ke rumah sakit untuk penanganan yang lebih lanjut.

Sekarang, rumah besar ini sangat kosong. Hanya ada dirinya dan Bundanya di sana. Saudaranya pergi tinggal di rumah sakit untuk menjaga Thorn dan Solar, sementara ayahnya pergi untuk menginvestigasi penyerangan kemarin. Taufan ditugaskan untuk menjaga ibunda mereka agar tidak lelah dan beristirahat, padahal dirinya sendiri tidak yakin apakah bisa beristirahat.

Jujur, Taufan bimbang.

Selama ini sosok Gempa yang dia temui di sekolah adalah seorang pelindung. Setiap kali ada murid yang kelepasan, dialah yang paling pertama bergerak melindungi murid lainnya.

Tetapi setelah kejadian kemarin, terutama melihat senyum lebar yang dilemparkan oleh sosok Gempa saat itu, membuat perut Taufan berbelit. Dia tidak ingin percaya, tetapi fakta berbicara di depannya.

Gempa lah yang melukai kedua adiknya.

Meski apa yang dikatakan oleh senior Rui, Gopal, Yaya, dan bahkan Komandan Kaizo bertolak belakang, pada dasarnya Taufan melihat dengan mata kepala sendiri bahwa Gempa yang hampir menusuk dada Halilintar.

"Ugh, sial. Ini membuatku pusing," keluhnya memangku kepalanya. Taufan duduk di balkon kamarnya, membiarkan angin malam yang dingin menerpa kulit wajahnya, berharap itu membantunya untuk tenang.

Tetapi percuma juga. Pikiran Taufan masih terpecah ke kondisi keluarganya, lalu tentang Gempa, dan terakhir tentang ancaman di kerajaannya. Walau bukan tugasnya, atau setidaknya belum menjadi tugasnya, namun Taufan telah mencintai tanah kelahirannya dan ingin melindunginya.

Rasanya tidak enak saat kau hanya bisa berdiam diri tanpa berbuat apa-apa walau tahu kesayanganmu sedang dalam kesusahan.

"Taufan?"

"Bunda?!"

Sang pemuda sontak beranjak dari sandarannya dan masuk ke dalam kamar, tak lupa menutup pintu balkon agar udara dingin tidak masuk. Netra birunya sempat melirik jam dinding, segera mengerutkan dahinya saat melihat jam berapa saat ini sudah.

"Bunda, ini sudah hampir tengah malam. Kenapa Bunda belum tidur?" tanyanya dengan lembut, mengambil sebuah selimut dari atas kasurnya dan menggiring Farah untuk duduk. Ia melingkarkan selimut itu pada tubuh kurus ibundanya.

Farah tertawa kecil, membisikkan terima kasih pada Taufan. Tangannya terangkat mengelus lembut kepala putranya, "kamu sendiri? Kenapa belum tidur?"

"Masih memikirkan kejadian kemarin?"

Taufan terdiam. Memang mereka telah menceritakan apa yang terjadi kemarin, walau begitu tidak ada reaksi khusus dari Bunda Farah selain menyuruh mereka untuk sabar.

Alhasil, Taufan hanya menghela nafas berat. Perlahan ia membaringkan kepalanya di pangkuan sang ibu. Karena diingatkan, pemikirannya semakin kacau. Taufan takut-takut saat dia menutup mata sebentar, Thorn dan Solar tiba-tiba tidak lagi akan membuka matanya.

Dan itu hal terakhir yang diinginkan oleh Taufan.

Dia juga lelah mengurus Blaze yang tidak bisa tenang dan selalu ingin pergi ke sekolah untuk menemui Gempa. Ice harus menyuntikkan obat penenang agar Blaze bisa duduk tenang.

Tidak ada bukti selain mereka saja. Itu pun kesaksian mereka yang sangat jelas dapat dipatahkan oleh teman-temannya yang lain. Dua diantaranya bukan orang biasa, melainkan seorang senior dan seorang komandan pasukan khusus.

"Ini seolah Gempa ada dua..."

"Upan, kamu tahu kan kenapa Hutan Kabut disebut begitu?" Pertanyaan Farah membuat Taufan tersentak bingung. Dia mendudukkan tubuhnya, penasaran dengan topik pembicaraan yang tiba-tiba dan tidak ingin menyakiti tubuh lemah bundanya lebih jauh lagi.

Little Secret (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang