A2 || Chapter 13 || Familiarity

1.2K 146 13
                                    

Ruangan itu sunyi, hanya ada suara hembusan nafas lembut dari seorang pemuda yang tertidur. Ekspresinya polos tanpa sedikit pun masalah, rambut panjangnya terurai begitu saja, dan di dahinya kini telah muncul sebuah perhiasan Huadian emas.

"Bangun."

Sebuah kata terucap oleh sebuah suara yang dalam, menggema di ruangan yang kosong itu. Pemuda dengan manik heterochromia tersebut menatap kosong pada kristal yang mengapung tak jauh dari tempatnya.

Kristal itu memancarkan cahaya emas keputihan, terlihat suci dan mulia. Namun di sekitarnya terdapat kabut pekat yang menjalar mencoba menggapai kristal tersebut.

Berdecak tak senang, tangannya terangkat dan menciptakan sebuah pola lingkaran sihir yang rumit.

"[Transuerso]"

Gempa terbangun dalam keadaan linglung. Penglihatannya masih sedikit gelap dan kepalanya juga masih pusing, namun dibandingkan dengan sebelumnya ini bukanlah apa-apa.

Hal terakhir yang dia ingat adalah ada datang berkunjung. Entah siapa itu, tetapi karena dirinya berada di atas kasur dan ditambah lagi atas meja nakas terdapat surat izin, mungkin itu teman sekelasnya.

Gempa berdiri dan melangkah mendekati cermin di kamar. Penampilannya kacau.

Rambut panjang yang kusut, wajah pucat, kantong mata yang jelas, dan bekas keringat yang jelas. Mungkin bercampur dengan bekas air mata, mengingat dia saat ini sedang dalam masanya.

Satu-satunya yang tampak menarik adalah perhiasan Huadian emas yang terpampang di dahinya. Tangannya menyentuh permukaan dingin dan halus dari perhiasan tersebut.

Bahkan setelah bertahun-tahun, kekuatannya masih belum pulih seutuhnya. Hanya dengan menggunakan sihir skala besar, tubuhnya seperti dikuras habis karena penggunaan mana yang cukup besar.

Jika itu adalah dirinya yang dulu, maka hanya perlu mengedipkan mata untuk menggunakan [Sound Transmission]. Sayang sekali, sekarang dia harus lebih berhati-hati.

Tubuhnya semakin lemah demikian harinya.

Menghela nafas, Gempa menggelengkan kepalanya. Mengusir seluruh pemikiran buruk. Dirinya memilih untuk pergi mandi sekaligus mendinginkan kepalanya.

Beberapa menit setelah Gempa selesai mandi, pintunya diketuk.

Halilintar dan Taufan yang menenteng kantong plastik berdiri di balik pintu. Kembaran yang lebih ceria mengangkat kantong plastik di tangannya dan berucap riang, "pengantaran makan malam!"

"Pfft..."

"Bagaimana keadaanmu?" Halilintar menatap wajah pucat Gempa, meski tidak seburuk yang dia kira. Pemuda di hadapannya itu berdiri masih dengan mantel mandi dan rambut yang basah. Melihat butiran air yang masih mengalir, dahinya tanpa sadar mengerut.

Gempa, antara sadar atau tidak, mengajak keduanya masuk. Belum sempat dia pergi ke dapur, Halilintar mendudukkannya secara paksa di kasur lalu mendengus, "kau masih sakit. Diam di sini."

Dan begitulah, Pangeran Pertama tersebut merebut kantong plastik berisi makanan dari kembarannya dan pergi.

Taufan tersenyum kecut. "Maaf tentang sikapnya, sepertinya dia sedikit tidak puas dengan hasil diskusi mereka tadi."

"Tak apa, lagipula memang aku saat ini sedang sakit."

Masih sedikit merasa bersalah, Taufan dengan segera kembali ke ekspresi cerianya. Dia mendudukkan tubuhnya di atas kasur Gempa, tepat di sampingnya. Tangannya dengan cekatan langsung mengambil handuk yang tersandar di bahu Gempa dan mulai mengeringkan rambut basahnya.

Little Secret (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang