A2 || Chapter 12 || He's Sick

917 117 4
                                    

Di sebuah taman yang luas dan indah. Rumpunan bunga-bunga bermekaran dengan cantik, memperlihatkan warna indah mereka dan harum semerbak menyebar ke seluruh area dibawa oleh angin. Mengundang kupu-kupu yang cantik berterbangan mendekat, tergoda akan bau nektar yang manis.

Sekeliling taman terdapat semak-semak yang terpotong dengan rapi membentuk pagar alami dengan beberapa diantaranya dijalari oleh bunga bersulur. Pohon-pohon rindang menambah kesejukan taman tersebut.

Pada bagian pusat taman, terdapat air mancur yang tergabung sebagai tempat minum dan mandi burung. Burung-burung cantik tersebut berendam dan bernyanyi merdu, menunjukkan kebahagiaan mereka.

Terdapat seorang anak kecil duduk dengan tenang di bawah salah satu pohon, duduk ditemani oleh tumpukan buku serta sepiring manisan beragam bentuk cantik.

Rambut cokelat panjangnya dikepang dan diikat pada ujungnya dengan sebuah lilitan sulur bunga tiruan. Pakaiannya terbuat dari benang sutra yang halus dan lembut, terdapat aksesoris perak pada ikat pinggangnya dan bahunya. Pada dahinya yang terekspos, terdapat perhiasan emas yang menempel pada dahinya. (Semacam Huadian China tapi warna emas)

Tak lama kemudian, dia mendongakkan kepalanya. Menatap pada pria dewasa yang berjalan tak jauh darinya. Manik gold tersebut terbelalak lebar. Tubuhnya secara refleks langsung berdiri dan berlari menuju sosok tersebut.

"Ayahanda!"

Pria yang dipanggil Ayahanda tersebut berbalik. Dia tidak dapat melihat wajahnya, namun dia masih dapat melihat senyuman yang terukir di kulit pucat tersebut. Ketika tangannya hampir menggapai pakaiannya, sosok tersebut pecah menjadi partikel-partikel cahaya.

Cahaya tersebut mengenai tangannya. Rasanya panas, seperti bara api yang membakar tubuhnya.

Angin bertiup kencang dan pemandangan berganti menjadi sebuah padang pasir yang gersang. Debu berhembusan ke sana dan kemari, menghalau penglihatan untuk mendeteksi sekitar. Tetapi bau amis darah dan besi berkarat yang ada di sekitar menyeruak masuk menyengat indera penciuman.

Dia bisa mendengar suara pedang saling bertubrukan dengan satu sama lain di suatu tempat. Banyaknya debu yang tertiup angin mengacaukan penglihatannya sehingga dia tidak tahu darimana asal suara tersebut.

Tetapi dia yakin akan satu hal, apapun pertarungan itu, dia harus membantunya.

Kakinya gemetar ketika sebuah langkah tercipta. Mencoba melawan arah angin yang semakin kuat, dirinya menahan diri walau debu dan pasir masuk ke hidung dan mulutnya. "Ayahan-"

Grab!

Sepasang tangan membungkam mulutnya dari belakang dan menahan tubuhnya dari melangkah lebih jauh, mendekati asal suara. Nafas hangat mengenai telinganya, membuatnya terasa geli namun tidak dapat bergerak melawan.

"Sadarlah, Gempa." Suara yang dalam terdengar memasuki pendengarannya. "Beliau telah damai di atas sana."

•••••

Thorn dan Solar menatap khawatir pada Gempa yang tengah terbaring di atas kasur. Terutama Thorn, dirinya sedari tadi tidak melepaskan genggaman tangannya pada tangan Gempa. Sesekali akan mengusap dahinya yang panas dan berkeringat.

"Aku akan keluar memanggil guru kemari," ujar Solar setelah beberapa menit berlalu dalam keheningan. Dirinya beranjak dan pergi secepat mungkin, meninggalkan Thorn yang mencoba mengompres Gempa.

Little Secret (Revisi)Where stories live. Discover now