Keping 24 - Effort

72 10 4
                                    

Sesampainya di rumah sakit, Zuney segera menuju kantin, karena merasa tidak membawa apapun jadi setidaknya gadis cantik itu membawa sesuatu untuk Ardana. Namun, yang pertama kali terlihat diantara ramainya orang berlalu-lalang adalah seorang pemuda kurus terbalut pakaian khusus pasien, sambil menggeser tiang infus yang selangnya tersambung ke salah satu nadi di tangannya.

            Dua manusia itu saling tatap, sampai akhirnya Ardana mendekat, sambil mengucek matanya. “Lo … Zuney? Lo beneran Zuney? Gue gak lagi mimpi, kan?”

            Zuney memegang lengan Ardana yang kurus. “Lo kenapa gak ngabarin gue, Na? Lo sakit apa? Kenapa lo makin kurus? Terus kenapa lo jalan ke kantin sendiri? Bentar, biar gue cariin kursi roda dulu, ya.”

            Ardana segera menahan Zuney yang hendak pergi untuk mencari kursi roda. “Ney, gak usah. Kita duduk di taman, yuk?”

            “Tapi Bunda gimana? Bunda tau kalau lo lagi keluyuran gini?”

            Ardana tersenyum mendengar Zuney ngomel-ngomel. “Bunda tadi gue liat lagi tidur, gue udah nulis surat kok di kertas, semoga Bunda baca.”

            Mereka akhirnya menduduki salah satu kursi taman. Ardana memiringkan kepala, menumpukan kepalanya di atas telapak tangan. “Cantik amat, Ney, mau kemana?”

            Zuney berdecak lidah sambil mendorong pipi Ardana dengan jari telunjuknya. “Lo tuh belum jawab pertanyaan gue! Sebenernya lo sakit apa, Na?”

            “Oh… Sakit biasa.” Ardana kembali menegakkan tulang punggungnya. “Magh kronis kalau kata dokter. Diisi makanan salah, gak diisi juga makin salah. Emang serba salah, sih, hidup gue. Apa gue nyusul Mas Una aja, ya? Kayaknya dia udah damai banget sekarang.”

            “Hush, gak boleh gitu!” Zuney menepuk lutut Ardana secara spontan. “Ini awalnya pasti banyak yang lo pikirin, kan? Sampai-sampai lo telat makan, dan akhirnya lambung lo makin parah,” tebak Zuney, “Coba, sini cerita sama gue, kayaknya isi kepala lo lagi rumit banget.” Zuney benar-benar menghadap Ardana sekarang.

            Ardana balas menghadap Zuney, lalu menghembuskan nafas lelah.

            “Kenapa? Ada yang ganggu pikiran lo, Na? Lo juga jauhin gue, kenapa?”

            “Gak apa-apa, takut ganggu aja. Tapi ternyata lo juga gak nyariin gue, tuh.” Ardana cemberut.

            Zuney memejamkan matanya, kemudian menarik nafas. “Ya gue juga takut ganggu lo.”

            “Aneh, ya, kita sekarang, Ney, mau hubungin satu sama lain aja udah ada rasa takut. Kita udah jauh banget, ya, sekarang?”

            Zuney kini benar-benar menaruh fokusnya pada Ardana. Pemuda yang ada di depannya itu sungguh kacau. Rambutnya sudah panjang, tulang pipinya terlihat jelas menandakan betapa kurus Ardana, lalu kantung matanya yang terlihat jelas, juga bibirnya yang kering dan pucat. “Na…”

            “Gue masih anak Ayah sama Bunda, kan, Ney?” tanya Ardana yang kini menatap luasnya langit.

            “Iya, masih. Memang kenapa? Masalahnya di mana?” Zuney mencoba untuk mengerti jalan pikir Ardana.

            “Udah empat tahun, Ney, semenjak kepergian Mas Una. Terlebih Bunda, sih, dia selalu sibuk sendiri. Hidup dalam kepompong yang selalu melibatkan Mas Una di dalamnya. Bahkan sampai detik ini, di meja makan aja, masih ada satu piring yang akan selalu Bunda sediakan untuk Mas Una.” Ardana menepis air matanya dengan kasar. “Ayah sama Bunda seakan lupa kalau gue juga anaknya.”

(MELINGKAR) VOL. 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang