Keping 43

73 10 0
                                    

Saat ini, di sekolah Zuney sedang berlangsung ujian sekolah untuk kelas 6. Semua guru dibagi menjadi tiga tim, ada tim panitia pembuatan soal, tim pengawas, dan tim pengoreksi. Zuney menjadi tim ketiga, yaitu tim pengoreksi.

Semua siswa kelas satu sampai kelas lima diliburkan, jadilah saat ini Zuney sedang berkumpul dengan teman satu tim nya di ruang berkas soal. Tida ada yang mereka kerjakan, karena soal dan jawaban pun masih belum turun, karena semua yang sedang ujian berada di latai dua.

“Iya, ini mah saya udah gak datang bulan lagi sejak gati KB,” papar salah satu rekan kerja Zuney. Teman Zuney yang sedang menyemili kue itu ikut menyahut, “Wah, ganti aja atuh ibu. Tapi biasanya kalau KB suntik teh suka asa ngagendutan.”

Zuney merasa tertarik. “Kalau pil KB yang diminum itu gimana, Bu? Soalnya si mamah gitu, pakai pil.”

Ibu yang duduk di samping Zuney menepuk pundak Zuney. “Ih, Neng, kalau pil mah sekali lupa teh suka jadi kecolongan.”

Zuney mengerutkan kening. “Kecolongan gimana, Bu?”

Nampak ibu-ibu itu tertawa.

“Ya hamil. Nih, Neng Zuney, nanti kalau mau nikah, diskusiin dulu mau punya anak berapa, jarak umur anaknya mau berapa tahun, mau di didik kaya gimana, dan masih banyak lagi. Pokoknya punya anak tuh tanggung jawabnya berat.”

“Bener, Neng Zuney. Terus nanti anaknya mau diasuh sama siapa kalau kita kerja, itu semua harus didiskusiin, udah belum ngomongin kaya gitu?”

Zuney meringis dan menggeleng. Rupanya banyak sekali hal-hal penting yang belum Zuney dan Jendra bicarakan. Selama ini mereka hanya fokus pada persiapan pernikahan, belum menginjak lebih dalam.

Sesaat kemudian, bel tanda waktu ujian berakhir. Satu persatu tim pengawas memasuki ruangan yang semula hanya ada beberapa guru, mereka menyerahkan lembar soal dan juga jawabannya untuk diperiksa kepada tim pengoreksi.

***

Minggu ini memang tidak terlalu sibuk bagi Zuney, dikarenakan anak didiknya memang belajar di rumah, da di sekolah pun Zuney hanya memeriksa hasil jawaban, dan merancang soal ujian untuk kenaikan kelas nanti.

Jadi, minggu ini Zuney juga berhasil melakukan finishing design undangan pernikahannya, yang nantinya akan Zuney perlihatkan pada Mama dan Papanya. Zuney membuka isi email, dan melihat kembali desain undangan digital maupun yang akan dicetak natinya. Dan, desain cantik itu berhasil membuat Zuney tersenyum.

Dengan lagkah gembiranya, Zuney keluar dari kamar, sambil membawa laptopnya yang masih beroperasi. Didekatinya sang Mama yag sedang membaca sebuah majalah di ruang tengah. “Ma, lagi apa, nih?”

Mama menoleh dan tersenyum. “Lagi baca aja, kakak belum tidur? Udah malem, lho.”

“Baru jam sepuluh, Ma. Oiya, Papa masih belum pulang?”

“Belum katanya lusa, Kak. Kangen, ya, sama Papa?”

Zuney terkekeh. Lalu diambilnya bantal sofa setelah meletakkan laptop di atas meja dengan layar setengah tertutup. “Ma, Kakak mau tanya, deh, dulu sebelum Mama nikah sama Papa, Mama udah rencana mau punya anak berapa?”

“Mmm...” Mama mulai menyampingkan tubuhnya, agar bisa berhadap-hadapan dengan Zuney. “Mama tadinya mau punya anak dua, tapi setelah nikah sama Papa, Mama memutuskan untuk fokus sama kamu.” Mama menjawab dengan penuh kelembutan.

Zuney mengrenyit. “Kenapa Mama gak mau punya anak? Kan Kakak juga mau punya adik. Dulu Kakak suka iri sama temen yang punya adik.”

“Gini, Sayang, Mama sama sekali gak mau membuat diri Mama jadi orang yang gak adil. Walau Mama bertekad bisa adil sama kamu, dan mungkin anak mama itu, pasti rasanya akan berbeda. Mama gak mau itu. Jadi, Mama memutuskan untuk gak punya anak, dan fokus mencurahkan semua kasih sayang Mama untuk kamu.”

Zuney mendenga itu semua dengan tertegun. “Mama....”

Mama tersenyum. “Semoga kakak bisa rasain kasih sayang yang udah Mama kasih selama ini, ya? Walau mungkin gak sehangat Mama kandung Kakak, tapi Mama beneran sayang banget sama Kakak.”

Zuney mengusap matanya yang kini basah. “Jadi, Mama memutuskan untuk seumur hidup Mama minum pil KB? Supaya gak hamil?”

Mama terkekeh. “Iya, untuk jaga-jaga, karena Mama udah pernah pasang IUD, tapi di Mama gak cocok, Kak, jadinya malah pendarahan.” Mama mengusap lutut Zuney. “Eh, Kakak udah bahas tentang KB aja, nih, udah ada rencana mau punya anak berapa sama Jendra?”

Zuney menggeleng. “Belum, Ma, belum diobrolin.”

“Lho, kenapa?”

Lagi-lagi gadis cantik itu menggeleng sambil mengangkat kedua bahunya. “Belum sempet aja, Ma. Tapi kayanya Kakak mau punya anak satu aja, deh, Ma.”

“Mau kasih Mama cucu cuman satu, aja?” Mama nampak cemberut.

Zuney terkekeh meski masih sibuk mengusapi matanya yang masih basah. “Emang Mama maunya berapa?”

“Sepuluh, dong, Kak, biar rame.”

Kali ini Zuney tertawa. “Ma, aku gak akan sanggup ngurusnya kalau sepuluh.”

“Yaudah, delapan, nanti kalau ngumpul kan rame, Kak.”

“Ih, Mama... Oiya, Aku mau kasih lihat sesuatu, deh, Ma.” Zuney kini memangku laptopnya. “Ini, desain undangan udah jadi, Mama harus lihat.”

Mama mendekat agar bisa melihat dan membaca tulisan-tulisan di undagan itu secara jelas. Mama membaca satu persatu tulisan itu dengan bersuara. “Zunnaira Prima Ratnaduhita, putri tunggal dari Bapak Zaidan Bachtiar dan Ibu Lin....” Mama menghentikan kegiatan membacanya. “Kak...?”

Zuney tersenyum. “Lanjutin, dong, Ma, bacanya.”

Jika tadi Zuney yang menangis, kini gantian, Mama yang sibuk terisak. “Putri tunggal dari Bapak Zaidan Bachtiar dan Ibu Linda Mustika.” Setelah membaca itu, Mama menunduk dengan wajah yang ditutupi dengan telapak tangan, beliau menumpahkan air matanya di sana, karena selama ini Mama tidak pernah berharap apapun, apalagi sampai namanya dituliskan di undangan sang putri, walau notabenenya Mama bukanlah yang melahirkan Zuney.

Zuney memeluk Mama. “Ma...” Tangan Zuney kini mengelus punggung Mama. “Mama pasti duduk di sebelah Papa, kan, pas aku nikah nanti? Pastiin Papa gak kesepian, ya, Ma.”

Dalam dekapan Zuney, Mama mengangguk. “Iya, Kak... Iya.”

Zuney tersenyum. “Makasih, ya, Ma, karena udah nemenin Papa selama ini, makasih juga karena gak bikin Papa kesepian lagi. Kakak beruntung banget dipertemukan seorang ibu seperti Mama.”

“Mama yang lebih beruntung dikasih anak sebaik Kakak.” Mama balas memeluk Zuney.

***

Pukul sebelas malam, terlihat seorang pemuda baru saja melepas kaca matanya, lalu menaruh asal di atas meja kerjanya, kemudian pemuda itu mengusap wajah sambil tersenyum. Rupanya Jendra baru saja melihat hasil akhir dari desain undangan pernikahannya yang sudah Zuney kirim dari setengah jam yang lalu.

Ada rasa lelah yang terobati, ketika melihat hal yang semula hanya mimpi kini hampir terwujud di depan mata. Kesenangan Jendra tidak berhenti sampai disitu, karena kini ponselnya bergetar panjang, menandakan ada satu panggilan masuk, dari siapa lagi jika bukan dari seorang gadis yang selalu berhasil menjadi alasan Jendra untuk selalu bekerja keras. “Halo, Assalamualaikum, Ney?”

“Waalaikumsalam, Jendraaaa!”

Jendra sempat menjauhkan ponselnya dari telinga, dan terkekeh. “Ney, aku denger, kok, kamu gak perlu teriak, nanti batuk lagi.”

Terdengar suara tawa Zuney. “Suka nggak sama desain undangannya? Bagus, ya?”

Jendra mengangguk, seolah Zuney bisa melihat aksinya. “Suka banget, Ney.”

“Hihi, Jen, oiya, Aku mau tanya, deh, nanti kamu mau punya anak berapa?”

Jendra seketika menegakkan tulang punggungnya. “Kamu maunya berapa?”

“Aku rasa... Aku mau punya anak satu aja, soalnya aku tau tanggung jawab mendidik dan mengurus anak itu gak gampang, Jen. Kamu gimana?”

Jendra tersenyum. “Aku juga, oke kita sepakat, ya?”

“Tapi kalau misalnya aku berubah pikiran mau nambah anak lagi, gimana?”

Jendra mengangguk-angguk kepala, pembahasan malam ini ternyata sudah sangat serius. “Ya aku tanya bener-bener ‘kamu yakin?’ dan aku akan ingetin sama apa yang udah kita diskusiin, Ney.”

“Kalau setelah itu aku tetep pengen, gimana?”

“Aku dukung, Ney. Walau kita bareng-bareng didik dan ngasuhnya. Tapi itu sepenuhnya hak kamu. Itu tubuh kamu.”

“Yaudah, satu aja, deh, hehe.”

Jendra tersenyum gemas. “Aku setuju, karena walau gimana pun aku membantu mengurus semuanya, tapi yang merasakan susah geraknya pas hamil kan kamu, yang merasakan sakitnya melahirkan kan kamu. Jadi tetap, yang menjadi poin utama aku itu kamu. Kesehatan kamu, kenyamanan kamu, kebahagiaan kamu, hal paling prioritas buat aku.”

“Ow, mau nangis lagi...”

“Emang kamu abis nangis, Ney? Aku denger suara kamu juga agak beda.”

Obrolan mereka berlanjut, mereka saling berbagi pendapat, menyamakan pandangan mereka tentang anak. Tentang pola asuh, pendidikan dan masih banyak lagi.


.
.
.

*Simulasi liat foto calon suami pakai latar biru 🫠🫠🫠🫠

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

*Simulasi liat foto calon suami pakai latar biru 🫠🫠🫠🫠

.
.
.
.


Haiiiiiii

Balik lagi sama kisah Zuney dan Jendra yang semakin dekat dengan hari H nih

Mau nanya, gimana minggu ini?

Semuanya berjalan baik-baik aja, kah?

Semoga tulisan ini bisa bikin kamu senyum ya ditengah hiruk pikuk pekerjaan yang rasanya.... gak ada habisnya itu. Huft

Jaga kesehatan selalu

Sampai bertemu di part selanjutnya ya


Salam sayang
Rahma ♥️
13.05.23

(MELINGKAR) VOL. 2Where stories live. Discover now