Keping 41

55 9 9
                                    

“Apa lagi yang mau di-gak-adain?” Zuney mengulang pertanyaan Jendra pada dirinya sendiri. Lalu gadis itu menghela nafas. “Ini boleh gak, sih, gue kalau nikah tuh akad doang? Ribet banget.”

Qistiya mengusap-usap kepala Zuney yang sudah tergeletak di atas meja. “Kan, ribet, kan? Gue sama Lolo juga ribut terus tiap hari.”

Zuney cemberut. “Terus lo udah di tahap apa sekarang, Qis?”

Qistiya mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. “Ini! Tada!” tangannya menggoyangkan amplop cantik berwarna rose gold itu. “Gue udah di tahap sebar undangan aja, sih.”

“Whaaaa.” Zuney menatap tidak percaya pada apa yang ada di hadapannya. “Qis, lo beneran nikah sama Lolo, ya?” bahkan kini gadis cantik itu menangkub mulutnya dan matanya mulai berair.

“Kan, cengeng, kan.” Charlo langsung geleng-geleng kepala.

“Ish! Jagain temen gue, Lo!” Zuney mendelik sebal pada Charlo. “Gue sama Jendra bakal sampe ke tahap ini gak, ya?” tanyanya seraya menarik satu helai tisu untuk mengusap kelopak matanya.

“Sampe, Ney, bismillah. Niat baik emang gak selalu mudah.”

Charlo mengangguk. “Susah banget, emang, Ney, apalagi pas mantannya dia nih tiba-tiba datang. Wah...” lalu cowok itu geleng-geleng kepala. “Makin was-was gue.”

Qistiya menepuk paha Charlo. “Paansi.”

Zuney sedikit terkekeh. “Jendra sama gue sih sama-sama gak punya mantan, aman lah ya.” Lalu Zuney membaca ulang tanggal pernikahan Charlo dan Qistiya. “Ini masih satu bulan lagi, mau disebar sekarang?”

“Ya gak juga, sih, kita mau list nama-namanya dulu. Mana yang perlu dikirim bentuk fisiknya, mana yang bisa pake undangan digital,” jelas Qistiya.

“Eh, si Jendra bisa datang gak, nih?” Charlo memastikan.

“Bisa, insyaAllah, Lo. Yakali temennya nikah gak datang?”

“Ya juga, sih.” Charlo mengangguk-angguk. “Eh, lo gimana, Ney? Udah sampe mana persiapannya?”

Zuney menaikkan kedua bahunya. “Gak tau. Sampe hari ini aja Jendra gak ada kasih gue kabar.”

“Masa, sih?” Qistiya merebut ponsel Zuney. “Lah, iya, terakhir berkabar tiga hari yang lalu.”

“Lo abis ribut apaan, Ney?”

“Nggak ribut, guenya aja sih yang ribet.” Zuney menghela nafas, terlalu lelah untuk menceritakannya. “Ya... gitu, lah, pusing.”

Sementara jauh di Palangkaraya, Jendra terlihat mengucek matanya setelah melepas kaca mata yang sedari tadi bertengger di tulang hidungnya yang tinggi, pemuda itu baru saja mengusulkan hasil penelitian tesisnya yang diharapkan bisa langsung acc dan menentukan jadwal sidang.

Mempersiapkan pernikahan sekaligus menyelesaikan tugas akhir perkuliahan memang bukanlah hal yang mudah. Waktu dua puluh empat jam seolah tidak cukup untuk mengurus keduanya secara bersamaan. Jendra juga sama stresnya, lalu diambilnya ponsel yang tergeletak di samping laptopnya, dan membuka room chatt bersama Zuney yang memang sudah lama tidak terisi percakapan apapun.

“Ini gue keterlaluan gak ya belum kasih kabar? Tapi kalau gue hubungi Zuney, takut gue tambah stres.” Jendra menutup matanya perlahan, berusaha mendinginkan isi kepalanya yang bergejolak. “Tapi gue kangen banget, lagi.”

Serba salah!

Ponsel Jendra bergetar panjang, ada satu panggilan dari Umminya. Membuat pemuda itu segera kembali menegakkan tulang punggungnya. “Halo, assalamualaikum, Mi?”

(MELINGKAR) VOL. 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang