Keping 47

108 11 4
                                    

Selepas pernikahan Charlo dan Qistiya, semua kembali beraktivitas sebagaimana mestinya. Jendra sudah kembali terbang ke Palangkaraya, untuk menyelesaikan semua urusannya. Zuney juga sudah kembali disibukkan dengan berbagai kegiatan akhir tahun ajaran.

Pertemuan yang terbilang singkat itu nyatanya cukup mengobati kerinduan di hati masing-masing. Baik Jendra maupun Zuney, keduanya sama-sama mampu tersenyum ketika mengingat satu sama lain.

Tidak ada pertengkaran seperti pada umumnya pasangan yang hendak menikah, keduanya sama-sama memanfaatkan waktu dengan baik, untuk mendiskusikan segala hal persiapan pernikahan, sharing informasi dengan teman-temanya yang sudah lebih dulu berumah tangga. Mendapat beberapa wejangan baik itu dari keluarga Jendra, maupun keluarga Zuney.

Suasana hati yang terpelihara juga menjadi satu jaminan yang bisa membuat keduanya tetap menjalankan kewajiban masing-masing. Semua persiapan pernikahan sudah terbilang cukup matang, sudah sekitar delapan puluh persen. Minggu depan juga, Jendra sudah mendapat jadwal sidang untuk tesisnya, surat mutasi pun sudah Jendra kantongi.

“Ya bersyukur, Ney, kalau urusan kalian dipermudah. Banyak lho yang malah berantem, sampai ujung-ujungnya batal nikah.” Vannesa berkata dengan santai, dengan secangkir cokelat panas yang baru saja ia teguk.

Mereka sedang berada di salah satu coffe shop dekat gramedia. Meski Qistiya berhasil misuh-misuh di grup whatsapp karena tidak bisa ikut bergabung, karena sedang honey moon di Labuan Bajo bersama Charlo.

“Ca,” panggil Zuney dengan mata yang sudah berlinang, “bener kata lo ternyata.”

“Bener apa?”

“Lo pernah bilang ke gue, kalau orang yang tepat gak akan pernah capek.” Saat itu suasana hati Zuney sudah sangat sendu, hingga tangannya harus mengusap kedua sudut matanya yang basah. “Gue udah di tahap ikhlas, Ca, sama semua alur hidup gue. Gue udah pasrah banget, Allah mau kasih ujian apa aja, gue cuma minta dikasih kesehatan fisik sama jiwa.”

Vannesa tersenyum, dan mengusap tangan Zuney yang menelungkup di atas meja. “Ney, beneran deh, Eca seratus persen bangga sama Zuney. Zuney hebat banget udah bisa laui semuanya, makasih ya, Ney, udah gak nyerah.”

Zuney terkekeh walau air matanya kembali menetes.

“Semua yang kenal sama Zuney pasti bangga sama Zuney. Eca juga yakin, di atas sana, Juna juga bangga sama Zuney. Gak ada yang gak bangga sama Zuney.”

“Makasih, Ca, gue terharu dengernya.” Zuney menarik satu helai tisu untuk dirinya sendiri.

“Sekarang tinggal apa, Ney?”

Zuney menarik nafas panjang. “Udah, Ca, tinggal nunggu Jendra selesai sidang, terus balik lagi ke sini, semuanya udah hampir selesai.”

Vannesa tersenyum lega. “Ney, Jendra baik, kan, sama Zuney?”

Zuney mengangguk, tentu saja. “Baik banget, Ca, gue tau dia pasti capek banget ngurus tesis, kerjaan sama sering gue tagih urusan nikah, tapi Jendra gak pernah sekali pun marah. Jendra pekerja keras banget, Ca, gue sangat-sangat bersyukur karena dipertemukan sama Jendra.”

“Alhamdulillah.” Vannesa ikut senang dengan apa yang barusan ia dengar. “Semoga semuanya semakin lancar, ya, Ney. Dua-duanya semakin diyakinkan untuk bisa terus maju ke tahap yang paling sakral.”

Sungguh tidak ada lagi keraguan dalam hati Zuney untik memilih Jendra menjadi pasangan hidup. Menjadikan Jendra sebagai satu-satunya imam dalam setiap ibadahnya kelak, dan menjadi syurga untuk segala bakti Zuney untuk Jendra, nantinya.

Meski rasanya semua ini seperti mimpi, sebab ini terasa sangat berbeda. Meski Jendra sedang berada jauh di sana, bahagia Zuney terasa nyata, rasa nyaman pun terus menyelimuti hati Zuney. Semua terasa sangat indah.

(MELINGKAR) VOL. 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang