Keping 40

65 10 4
                                    

Minggu-minggu ini di sekolah Zuney memang sedang sibuk-sibuknya. Program asesmen sekolah yang menjadi kebijakan pemerintah tentu saja menyita watu banyak guru. Jika biasanya Zuney sudah pulang pada jam dua siang, maka kini Zuney harus rela menambah jam kerjanya sampai jam empat atau bahkan menjelag magrib. 
Sebetulnya tidak menjadi masalah, tapi kini fikirannya terus bercabang, antara pekerjaan dengan berbagai semua pesan yang masuk dari calon ibu mertuanya yang terus menerus menanyakan semua rencana pernikahan.
Zuney memegang keningnya yang basah, namun kini tubuhnya terasa menggigil. Rasanya sudah tidak beres, maka ia memutuskan untuk menelepon Hakim, karena sudah pasti pada hari sabtu begini, Hakim ada di rumah. Bukan apa-apa, Hakim menjadi satu-satunya opsi yang bisa Zuney hubungi, karena kini ia merasa tak mampu untuk membawa mobilnya sendiri.
Zuney menunggu di dekat lahan parkir, lalu melihat Hakim yang baru saja turun dari ojek online lalu menyerahkan helm hijau itu pada si pengemudi. Pemuda yang terlihat sedang mengacak rambutnya yang memang sudah acak-acakkan itu lalu menutupinya dengan topi. Sandal jepit hitam dan celana jeans pendek yang disambung denga kaos hitam polos adalah perpaduan Hakim yang amat sangat sederhana.
“Mana?” tanya Hakim seraya menengadahkan telapak tangannya, meminta kunci mobil milik Zuney.
“Kim...” Zuney menatap Hakim sambil cemberut. “Lo kok baik banget, sih? Lo kok mau aja gue mintain tolong?”
Hakim tersenyum miring. “Dih, sok mulai, da. Hayu buru, urang mau lanjut bermalas-malasan, nih.”
Zuney memberikan kunci mobilnya, lalu mengekor di belakang Hakim yang sudah membuka kunci itu dari jarak dua meter.
Akhirnya, Zuney duduk dan menyenderkan kepalanya ke sisi jendela. Lalu tangannya merogoh isi tasnya dan meraih paracetamol yang memang selalu ia simpan, juga botol air mineral yang ada di dashboard mobil. Dengan mata terpejam, gadis cantik itu menenggak obat itu lalu memasrahkan semuanya pada Hakim.
“Maneh sakit, Ney?” Hakim melirik sekilas, lalu kembali fokus pada jalanan akhir pekan yang padat.
“Enggak. Gue cuman kecapean kayanya. Lo jangan bilang Jendra, ya, Kim?”
Hakim tidak banyak omong, rupanya Hakim sudah lebih dewasa sekarang. Pemuda itu tidak terlalu ambil pusing.
“Kim, gue salah gak sih ambil keputusan buat nikah di usia sekarang? Gue kok ngerasa ragu, ya?”
“Hm? Kumaha?” Hakim benar-benar mengrenyit. “Urang gak salah denger?”
“Iya, soalnya kalau gue gak nikah sekarang kan gue bisa ambil pascasarjana, gue bisa ikut pertukaran guru ke luar negeri, terus, ikut banyak program pemerintahan buat naikin karir gue. Gue terlalu gegabah gak, sih?”
“Yeh, ieu calon manten teh kumaha? Ngalantur kieu, ih. Udah, maneh teh lagi sakit, jangan banyak pikiran, tidur weh, Ney. Sok percayain semuanya sama urang.”
Baru juga Zuney hendak menutup matanya, namun ponselnya bergetar panjang, menandakan ada satu panggilan masuk. Itu ternyata dari pihak WO.
Hakim meringis ketika melihat sahabatnya itu yang berusaha tetap profesional berbincang panjang lebar dengan pihak WO melalui sambungan telepon, walau sesekali Zuney memijat pelipisnya, menggaruk pangkal hidungnya, maupun mengerjapkan matanya yang mungkin terasa perih.
Lagi-lagi Hakim tidak ingin ikut campur, tugasnya saat ini hanyalah mengantarkan Zuney sampai ke rumah dengan selamat. Hakim juga ingat bahwa dengan sangat jelas Jendra menitipkan Zuney padanya. Jadi, Hakim benar-benar tidak ada niat lagi selain itu.
***
Mama mengetuk pintu kamar Zuney, lalu menyentuh kening gadis semata wayangnya, memeriksa suhu tubuhnya dan kembali menarik selimut yang Zuney kenakan sampai batas dada.
“Ma...” Zuney mengulet. “Besok aku ada jadwal ketemu lagi sama pihak WO.”
Mama meringis. “Bisa ditunda gak, Kak? Kamu lagi panas banget lho ini.”
“Nanti aku coba bilang, ya, Ma. Sekarang jam berapa memang, Ma? Aku tidur lama banget kayanya.” Zuney mencoba untuk duduk.
“Jam sepuluh malam, Kak.” Mama terkekeh. “Iya, kamu tuh udah kaya gak tidur satu bulan, deh. Jendra sampai nyariin kamu, teleponin kamu, gak diangkat katanya. Jadi telepon Mama.”
“Oiya, aduuuh.” Zuney kini memeriksa ponselnya. Ada banyak sekali pesan yang masuk, baik itu deadline tugas dari sekolah, pesan berbagai macam rekomendasi perintilan pernikahan dari calon mertuanya, design kartu undangan dari calon kakak iparnya, follow up dari pihak WO, juga tentu saja pesan dari Jendra yang menanyakan keadaannya.
“Mama udah bawa nasi sama sayur sop, udah mama taruh di atas meja belajar. Mama keluar dulu, ya?”
Zuney mengangguk dan tersenyum. “Ma... makasih banyak, ya.”
Mama tersenyum dan menepuk-nepuk lutut Zuney lalu keluar dari kamarnya.
Zuney segera meneguk air putih, dan memakan nasi yang sudah Mama bawa, setelah itu Zuney pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Setelah semuanya bersih dan rapi, Zuney membuka laptop, memerhatikan rincian anggaran pernikahan yang angkanya sudah diluar perkiraannya.
“Ini gak ada yang bisa kita pangkas lagi ya, Jen?” tanya Zuney pada sambungan video call bersama Jendra.
Jendra juga terlihat sama frustasinya. “Kita udah gak pakai bridesmaid sama groomsmen, Ney. Apalagi yang mau di gak adain?”
Zuney menopang dagu. “Mmm... apa, ya?”
“Kita udah sewa baju, bukan bikin. Aku pikir biaya segini wajar, kok, Ney. Menurut kamu gimana?”
Zuney masih berfikir. Betul, Zuney memang tidak berniat mendesain gaun pengantin sendiri, atau membeli. Gadis cantik itu berfikir akan sangat sayang jika harus membeli gaun yang super mahal yang hanya dia gunakan satu hari. “Tapi ini udah nyentuh ratusan juta, Jendra... Aku bener-bener kaget pas tau semuanya.”
Jendra bergumam, lalu memijit pelipisnya. “Aku akan bertanggung jawab semuanya, Ney. Kamu gak perlu khawatirkan apapun. Aku denger, kamu juga sekarang lagi sakit, kan?”
“Jen, ini yang nikah kan kita berdua. Semua biaya harus kita bagi dua.”
Jendra kini malah tersenyum, teringat lagi masa KKN saat dimana Zuney menolak mentah-mentah permintaan Charlo untuk membiayai semua kebutuhan KKN selama di posko. “Kamu emang bener-bener Zuney.”
Zuney berdecak. “Jen... Serius! Aku tuh bingung, ya, kemaren aku kasih dua contoh design undangan, kamu bilang gimana aku, terus aku kasih pilihan menu catering, kamu juga pasrahin semuanya ke aku, pilih MUA juga kamu bilang ikut pilihan aku. Ini aku nikah sendirian kali, ya?”
Ketika Jendra memutuskan semuanya pada keinginan Zuney, bukan berarti Jendra tidak ingin ikut andil. Sebenarnya, ia hanya ingin melihat Zuney bahagia dan merasa percaya diri pada apa-apa yang sudah menjadi pilihannya.
“Kamu niat nikah gak, sih?”
Boom!
Jendra yang juga sama sibuknya pun kini mulai ikut terbawa panas. “Ney, gak salah nanya kaya gitu?”
“Ssshhh, ya abisnya kamu kesannya kaya gak peduli gitu. Ini acara kita berdua, kan? Kenapa aku yang capek sendiri?”
Jendra memejamkan mata. Berusaha untuk tidak ikut terpancing emosi. “Aku juga di sini lagi berusaha beresin semuanya, Ney. Kerjaan banyak nuntut karena aku minta mutasi di usia kerja yang baru sebentar.”
“Lho, emang kamu aja yang kerja? Aku juga lagi banyak kerjaan, Jendra. Aku tuh cuma butuh saran kamu, masukan dari kamu, jadi aku gak merasa ngurus semuanya sendiri.”
“Ney... kalau kamu memang merasa capek, gapapa kita undur aja dulu tanggal nikahnya.”
“Kok gitu?!” Zuney kini berada di puncaknya, menahan dengan sangat kuat air matanya yang terus mendobrak pertahanannya.
“Aku pikir kita bisa urus semuanya walau jarak jauh gini, tapi nyatanya sulit. Di sini, aku bener-bener ngerasa waktu 24 jam gak akan cukup buat beresin kerjaan doang, belum lagi tesis yang masih aku revisi. Semuanya beneran kaya lagi kejar-kejaran, Ney. Semuanya beneran nguras semua fokus aku dan—”
“Sampai kamu gak punya fokus buat ngurusin pernikahan kamu sendiri?” potong Zuney.
“Ya nggak gitu, Ney.”
“Jen, kalau kamu sibuk kerja ini itu, aku juga sama. Aku punya kerjaan juga, aku punya tanggung jawab juga. Kantor kamu punya program, ya sama sekolah aku juga lagi banyak program. Waktu kamu sempit, ya waktu aku juga sempit. Kalau gini terus, bisa-bisa kita gak jadi nikah beneran.”
“Jangan ngomong gitu, Ney...”
“Ya terus gimana?”
Jendra tidak membalas Zuney yang memang sedang berada di puncak amarahnya. Takutnya ia malah ikut-ikutan tersulut emosi dan semuanya akan benar-benar hancur.
“Yaudah, sekarang giliran aku yang bilang, aku ikut semua keputusan kamu. Mau kamu tunda, aku ikut aja. Maaf, ya, aku jadi ganggu waktu kamu buat bahas hal mungkin menurut kamu gak terlalu penting ini.”
“Ney...”
“Kamu bisa hubungi aku kalau kamu udah ngerasa hal ini gak cuma penting buat aku, tapi buat kamu juga. Jangan lupa istirahat.”
Dan Zuney memutuskan sambungan itu lebih dulu, tanpa menunggu jawaban Jendra setelahnya. Kemudian Zuney men-shut down laptopnya, juga menonaktifkan ponselnya. Gadis itu memilih untuk meringsut di kasur, menarik selimut sampai ujung kepala, dan menumpahkan tangisnya di sana.



.
.
.

Jendra bilang, pusing pusing pusing 🥹🥹🥹

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jendra bilang, pusing pusing pusing
🥹🥹🥹

.
.
.

Hehe

Salam sayang
Rahma
5.4.23

(MELINGKAR) VOL. 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang