Keping 46

62 12 5
                                    

Suasana pernikahan Charlo dan Qistiya berlangsung dengan meriah, nuansa putih dan warna biru muda bersanding dengan serasi. Qistiya dengan gaun cantik yang menjuntai dan juga memeluk tubuh indahnya sangat serasi dengan Charlo yang mengenakan jas dengan warna yang senada. Dua orang itu terlihat sangat bahagia.

Jendra juga masih setia berada di samping Zuney yang sedari tadi masih meneteskan air mata. Pemuda itu terkekeh ketika melihat Zuney yang masih menangis terharu. “Ney, udah nangisnya, ya?”

Zuney terkekeh sambil mengusap ujung matanya. “Gak bisa. Gimana, dong?”

Vannesa juga melakukan hal yang sama seperti Zuney. Membuat Hakim dan Ardana bergeleng-geleng kepala.

Mereka kumpul di satu meja bundar, memerhatikan Charlo dan Qistiya yang berada di singgasananya, yang masih belum kehabisan tamu.

“Teu nyangka, aih, si Qisti sama Lolo bakal jodoh kieu, euy,” ucap Hakim sambil mengelus-elus dagunya yang baru saja dicukur itu.

“Bener-bener jadi temen satu atap, padahal dulu cuman temen KKN,” balas Zuney.

“Lah, kalian juga, menyusul.” Ardana berkata santai sambil meminum coctail miliknya.

“Aamiin...” balas Jendra sambil tersenyum ke arah Zuney, yang membuat gadis itu ikut tersenyum.

Di depan sana, Chalo melambai-lambai tangan pada mereka, dan memeragakan tangan seperti orang makan, bermaksud menyuruh teman-temannya untuk menikmati semua hidangan yang ada, sepuasnya.

Jendra mengacungkan ibu jari, pertanda tidak perlu khawatir, karena sejak tadi teman-temannya juga sudah bolak-balik mengambil ice cream, zupa soup, siomay, buah potong, coctail dan semuanya.

Seketika Zuney berdiri, merapikan rok bagian belakangnya, lalu melirik pada Jendra. “Aku ke kamar mandi dulu.”

Jendra mengangguk, dan tangannya otomatis menengadah, bermaksud memberi bantuan, siapa tahu Zuney ingin menitipkan handbagnya.

Tapi Zuney menggeleng. “Aku mau touch up, semuanya ada di sini.”

“Oke,” respon Jendra.

Zuney sudah beranjak, berjalan menjauh. Namun kini Jendra didorong oleh Ardana, membuat Jendra menoleh.

“Lo anterin Zuneynya, anjir.”

“Kenapa? Zuney nya aja gak minta anter?” Jendra masih bingung.

“Dia kalau di tempat baru suka bingung, parnoan anaknya,” jelas Ardana.

“Ih, iya, bener pisan! Urang pernah diceritain sama Mama Papanya, dulu Zuney pernah les privat di deket rumahnya, selalu dianter jemput tuh sama Mama Papanya. Bener-bener berangkat bertiga, pulang juga bertiga.” Hakim tidak kalah semangat menceritakan itu. “Kamemeut pisan pokokna mah.”

Jendra segera beranjak, berjalan cepat, hingga akhirnya bisa menyejajarkan langkahnya dengan Zuney. “Ney,” panggilnya.

Zuney menengok. “Eh? Kok ikut?”

“Gapapa, sini, aku yang pegangin tas kamu,” pinta Jendra.

“O-oh, okey, ini, makasih.” Zuney menyerahkan tasnya pada Jendra setelah mengambil beberapa benda untuk touch up make up-nya, tentu saja sambil menahan senyum. “Baik banget, calon suami.”

Jendra harusnya tidak terkejut, tapi wajah kagetnya tidak bisa disembunyikan, dan pemuda tampan itu mengusap tengkuk bagian belakang. “Ayo, Ney, abis ini ada sesi lempar bunga, katanya.”

“Serius?! Aku mau dapet!”

Jendra terkekeh melihat ekspresi Zuney yang sangat bersemangat. “Aku tunggu sini, ya.”

(MELINGKAR) VOL. 2Donde viven las historias. Descúbrelo ahora