3. Dipeluk Luka

4.5K 730 128
                                    

"Gila lo, ya. Gamma masih bayi gitu lo bawa ke rumah sakit." Alvela mengulurkan tangan, mendorong kepala Seni dengan kesal. Dia memang bukan wanita normal, namun kalau urusan kesehatan, Alvela tipis-tipis juga paham.

"Daripada gue bawa ke panti asuhan, cinlok lagi ntar kayak bapaknya dulu." Seni merengut. "Lagian, gue deg-degan parah pas resepsionis apartemen bilang lo ke rumah sakit. Gue kira lo yang sakit, Beb!"

"Ya, abang lo, tuh! Napi gabut. Disuruh kerja bakti malah main tusuk-tusukan. Buang-buang duit gue, kan, ujung-ujungnya." Alvela menatap Raga tajam. Sementara itu Raga hanya bisa terdiam seperti biasa.

Menatap sang adik dengan pandangan merindu.

Meski sudah terucap maaf, namun tetap saja ada benteng menjulang yang menggerayang.

"Parah?" Seni juga seperti itu, seperti masih punya batasan dengan abangnya sendiri. Sampai bertanya keadaan pun justru kepada Alvela, bukan langsung kepada Raga.

"Untungnya nggak sampai pendarahan internal. Ditusuk pake gunting, sih. Elah, gabut banget sumpah napi-napi itu. Kenapa, sih, sampai kayak gitu? Adu sok suci?" Alvela, masih dengan selimut Raga di tubuhnya, kembali menghardik.

Raga dari ranjangnya hanya bisa menghela napas.

Nyatanya, tetap hidup dan menghadapi wanita-wanita yang tidak menyukainya pun terasa sangat berat.

"Saya nggak suka lihat mereka merundung Kamael."

Seni berdecak. Lalu perlahan berdiri, mendekati ranjang Raga dengan malas. "Nggak usah hobi jadi sok pahlawan. Pikirin diri sendiri. Mendekam di penjara lama-lama juga belum tentu bikin dosa di masa lalu jadi hilang begitu aja."

Raga mendengkus kecil.

Namun tidak memungkiri, hatinya sedikit berbunga melihat ada Alvela dan Seni di sekitar jangkauan matanya.

"Si kecil namanya siapa, Ni? Denger dari Alvela dulu dinamain Bhiri?"

Alvela terkekeh sengit. Memang aneh keluarga itu, anak masih dalam kandungan dipanggil seperti nama kambing.

"Nggak. Namanya Gamma. Senandira Gammarayi Madaharsa." Agaknya, Seni lebih senang dengan nama Bhiri ketimbang Gammarayi. Sebuah nama penuh dengan kode bucin dari sang suami. Sekaligus sebuah titah, dominasi Arayi atas kepemilikan si bayi.

"Dipanggilnya Gamma?"

Seni mengangguk. Sementara itu ia memindai wajah pucat Raga. Namun dari kondisi tubuh pria itu yang kini sudah bisa duduk, tentu saja Seni yakin luka Raga tidak terlalu parah. Tidak perlu ia jenguk lama-lama. Apalagi ada istrinya.

Meskipun lesbi, Seni yakin, Alvela tidak berbahaya. Tidak akan jadi singa buas yang akan menerkam kakaknya.

"Gue balik, ya, Al. Anak-anak gue lari ke mana tadi bahaya kalau sampai Bhara buang ke kamar mayat. Tuh, anak suka rada sentimen soalnya sama Gamma."

Alvela dan Raga menggelengkan kepala. Bhara itu, semakin besar, semakin tidak jelas apa isi kepalanya. Padahal dulu anak itu terlihat dewasa sebelum waktunya.

Tapi sekarang bagai bocah yang belum punya usia.

"Ni." Raga memanggil Seni sejenak, agar adiknya itu tak buru-buru pergi meninggalkan ruangan.

Terdiam sebentar, Raga kemudian menatap Seni dengan serius. "Jangan suka marahin Bhara. Kalau dia sekarang agak childish, mungkin Bhara cuma ingin mengulang masa kecilnya yang tumbuh tanpa kamu, Ni."

Seni mengangguk kecil. Ia pun sadar akan hal itu. Bhara memang jadi lebih sering bermanja-manja. Apalagi Arayi juga membebaskan. Namun selama hal itu masih dalam koridor yang benar, Seni juga tak akan mempermasalahkan.

SEHANGAT DIPELUK RAGATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang