32. Prasangka Praduga

4.1K 756 41
                                    

"Pokoknya barang yang lebih dulu masuk, itu yang harus dijual dulu, ya. Jangan sampai barang yang masuk duluan, malah dijual belakangan. Nanti, potensi rusak karena kelamaan di gudang." Raga berkacak pinggang sambil mengembuskan napas setelah melakukan sedikit perbaikan di gudang meubelnya.

Terima kasih kepada Arayi. Berkat adik iparnya itu, usaha yang dirintis Raga secara personal tetap bisa beroperasi seperti biasa. Meskipun, sekarang Raga memilih untuk menghindari keramaian, tapi ia tak bisa menunggu lebih lama lagi untuk berpangku tangan.

Sebagai sanksi sosial, Raga sedikit dapat merasakannya. Tatapan menghunus dari orang-orang. Atau bisikan-bisikan mencibir saat ia berada di suatu tempat. Bahkan, pertanyaan-pertanyaan basa-basi yang sebenarnya menyakitkan hati sudah Raga rasakan.

Karyawannya sendiri bahkan ada yang terang-terangan menciut saat ia mendekat. Terutama karyawan perempuan. Kasus penganiayaannya terhadap Alsha memang berdampak besar.

Orang-orang yang tidak tahu sebab akibatnya, tentu akan menganggapnya seperti monster. Laki-laki, tapi berani menyakiti perempuan.

Raga menepuk tangannya. Ia sudah selesai berkeliling gudang. Melakukan sedikit perubahan-perubahan posisi penyimpanan barang, yang akan memudahkan untuk urusan distribusi.

Kebetulan, bangunan gudang dan tokonya terletak di satu area. Gudang berada di belakang toko. Namun dipisahkan oleh area hijau yang membuat lingkungan itu menjadi begitu sejuk.

Raga memutuskan untuk berjalan kembali ke toko. Melintasi area hijau dengan tenang. Sambil mengenang masa lalu, ia mengambil ponsel dari saku celana. Mengirim pesan sambil senyam-senyum sendiri. Siapa lagi kalau bukan mengirim pesan untuk sang pujaan hati.

Meminta Alvela untuk tidak melupakan makan siang, dan tidak memaksakan diri kalau sudah lelah. Bagaimana pun, Raga benar-benar berharap bisa membangun rumah tangga yang indah bersama Alvela lengkap dengan buah hati jika Tuhan bermurah hati memberi rizki.

Raga kembali berjalan, sesekali bertegur sapa dengan para karyawannya. Menebar senyum yang tak sehangat seperti yang ia perlihatkan di depan Alvela.

Sesampainya di toko, pria dengan topi berwarna hitam itu menganggukkan kepala dengan puas. Kegiatan jual-beli di toko itu lumayan ramai. Arayi benar-benar menyerahkan bisnisnya kepada orang yang tepat.

Jika bukan karena Arayi, entah sudah jadi apa bisnis meubelnya itu.

Namun kemudian, Raga menyipitkan mata saat melihat sosok yang baru saja masuk dan membantu mengangkut barang dari toko ke atas mobil.

Langkah kaki pria itu segera melaju cepat. Entah ia harus bahagia atau apa, tapi yang jelas perasaannya tak karuan bisa melihat sosok Kamael ada di sana.

"Kamael!"

Pemuda yang Raga panggil menolehkan kepala, segera menyelesaikan tugasnya, lalu tergopoh-gopoh mendekati Raga dengan begitu bahagia. "Mas!"

"Kamu ngapain di sini, El?" Raga tertegun, saat pandangannya tak salah. Sosok itu benar-benar Kamael, adik dari seseorang yang mati-matian Yaffi jauhkan dari Alvela selama ia di penjara.

"Aku kerja di sini, Mas. Kan, Mas Raga yang bilang sendiri dulu pas di sel. Aku boleh datang lagi dan minta pekerjaan. Maaf, ya, Mas. Aku lamar di sini bahkan sebelum Mas Raga keluar. Aku butuh banget kerjaan waktu itu, daripada aku terlunta-lunta dan dipaksa kakakku untuk tinggal sama dia. Mendingan aku nekad buat minta kerjaan di sini. Nggak papa, kan, Mas?" Kamael meringis segan melihat Raga masih menatapnya dengan pandangan yang begitu beku.

SEHANGAT DIPELUK RAGATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang