39. Langit Tak Lagi Tenang

3.4K 676 131
                                    

Segala rasa heran yang ada di kepalanya saat ini akhirnya berakhir menjadi bahan curhat di antara Seni dan Belia. Kedua wanita itu kompak menatap Alvela dengan penuh selidik.

Setelah selesai dengan urusan pekerjaannya di VETV, Alvela mendatangi Paradise Modeling School untuk bertemu dengan Belia dan Seni di sana. Curhat!

"Gue, tuh, sampai nungguin dia, lho. Jam lima pagi Raga baru balik!" Alvela berseru kesal sambil melotot menatap Seni dan Belia. "Dan kalian tahu dia bawa apaan?"

"Mana gue tahu!" Seni mendengkus, tapi diam-diam merasa lucu dengan nasib rumah tangga abang dan sahabatnya. Seperti bukan pasangan istri nini-nini dan aki-aki.

"Luar biasa abang lo, Ni! Pulang-pulang dia bawa jajanan dari Pasar Pagi Senen sekresek penuh! Dan dia lanjut makan sambil nonton Netflix. Udah gitu, pas gue tanya, dia dari mana aja. Dia bilang habis makan bebek di Bendungan Hilir, terus makan bubur ayam di Cempaka Putih. Gue curiga inilah yang namanya keburukan suami yang baru kita ketahui setelah nikah, deh!"

Seni berdecak. "Halah. Cuma rakus si Raga. Lo bandingin sama suami gue, Al. Dua tahun nikah baru ketahuan dia udah punya bini! Keburukan suami apa lagi yang kau dustakan, Sayang?"

Belia menutup mulut, tertawa tertahan meski dalam hati mengakui. Keburukan Arayi Madaharsa memang tidak ada lawan!

Alvela pun terdiam. Iya juga, ketimbang Raga, Arayi memang tidak ada tandingannya kalau soal buruk berengseknya seorang suami.

"Tapi, jujur gue agak ngeri lihat nafsu makan dia akhir-akhir ini. Apa dia lagi balas dendam, ya, gara-gara pas di penjara kemaren makan enaknya cuma pas siang-siang aja?"

Belia berusaha tenang, menghentikan tawa, dan berkata, "Jangan dibawa spaneng, Kak. Anggap aja Mas Raga emang lagi suka makan."

"Tapi gue nggak mau punya suami gendut, Bel." Alvela menoleh, dan protes sambil membayangkan amit-amitnya Raga menggendut. Perutnya buncit, mukanya jadi bulat, jalannya jadi lambat. Iyuh!

"Yang ada, perut lo tuh yang bakalan gendut, Al." Seni bangun dari sofa, dia membuka lemari, dan mulai menyibukkan diri mencari pakaian yang pas untuk dia mengisi kelas sebentar lagi.

"Maksud lo?"

"Ngidam kali si Raga. Gue curiganya, sih, gitu. Kalian bagi tugas. Lo yang muntah-muntah, Raga yang ngidam."

"Tapi, gue udah nggak muntah-muntah lagi, kemaren doang pas di SKYE. Gue juga udah cek, masih garis satu, kok."

Seni menggelengkan kepalanya. "Lo cek satu kali, kan? Gue pas hamil si kembar, pakai testpack sampai 8 biji."

Alvela tertegun di tempatnya. Apalagi dia sadar, kesabarannya kemarin setipis tisu dibagi dua. Baru dipegang beberapa detik, alatnya sudah ia buang begitu saja.

"Cek lagi, deh! Menurut gue, kejadian Raga alergi sampai mau mati itu udah nggak ngotak. Dia nggak segoblok itu untuk bunuh diri dengan nekad makan kacang ijo. Itu pasti bawaan bayi kalian."

"Nah, bener kata Mbak Seni, Kak Al. Coba cek lagi, deh. Siapa tahu beneran ada dedek utunnya."

"Agak sorean gue sama Belia temenin ke dokter deh, Al. Gue curiga lo nggak ada bakat buat pakai testpack. Sekitar jam 5-an, deh. Nggak apa-apa, kan? Soalnya mau persiapan terakhir anak-anak yang besok ikut fashion show di Semanggi."

Alvela menatap Seni sejenak. Dipandanginya perempuan yang pernah begitu ia sayangi. Rasanya, waktu berlalu begitu lucu. Dulu, ia merasa marah kalau Seni bermain pria. Kini, ia malah terancam hamil anak dari Raga.

SEHANGAT DIPELUK RAGAWhere stories live. Discover now