11. Raga-Raga Yang Gugur

4K 847 108
                                    

"Muka kamu pucat banget, Al. Kamu sakit?" Hangat menyentuh pundak Alvelva yang sedang terdiam di pinggir lapangan. Saat itu, mereka harus melakukan ujian praktek olahraga. Harus berlari sekian meter dan menempuh waktu tertentu agar dapat nilai bagus.

"Lagi PMS, ya?" Hangat bertanya lagi sambil mengusap peluh yang membasahi wajah Alvela.

"Boro-boro PMS, aku udah tiga bulan ini nggak mens. Aku kenapa, ya, Hangat?" Alvela mengerucutkan bibir sambil menghela napas.

"Jangan mikir yang nggak-nggak, Al. Usia kita, kan, emang masih suka nggak beres siklus haidnya. Kata petugas UKS juga gitu, kan?"

Alvela memilin bibir. Gadis itu menyimpan ketakutannya sendirian. Soal pelecehan yang dilakukan Veda dan sebab ibunya meninggal, ia tak menceritakannya kepada Hangat. Takut Hangat akan menjauh dan ia akan tak punya siapa-siapa lagi.

"Luna juga katanya dia bisa lama banget nggak mens-mens." Hangat bersuara lagi sambil berdiri. "Yuk, kalau nggak kuat aku anter ke UKS aja."

Kepala Alvela menggeleng. Ia pun lantas ikut berdiri sambil mengatur napas. "Aku harus ikut ujian ini, biar bisa lulus cepet dan keluar dari rumah itu, Hangat."

"Ini ujian praktek aja, bukan ujian nasional. Jangan maksain diri, Al."

Hangat menatap Alvela dengan penuh kekhawatiran.

"Aku baik-baik aja." Alvela lantas berjalan, mendekati kerumunan murid lainnya untuk menunggu dipanggil.

Tak lama kemudian, tiba saatnya namanya dipanggil. Alvela mengambil ancang-ancang, tak sengaja ia menoleh ke arah pinggir lapangan dan melihat ada Yaffi yang tersenyum kecil ke arahnya.

Alvela tak menanggapi.

Gadis itu masih ingat kesakitannya karena Yaffi. Pemuda itu hanya memanfaatkannya, tak benar-benar menyukainya. Alvela kecewa kepada Yaffi. Kecewa hingga rasanya menjadi sangat tidak suka kepada Yaffi, kepada manusia-manusia yang sejenis dengan Yaffi.

"Semangat, Al." Yaffi menggerakkan bibirnya, terlihat tulus. Namun tak lagi berarti di mata Alvela.

Begitu peluit dibunyikan, Alvela segera maju. Berlari sekuat tenaga. Meski rasanya dunia begitu bergetar, pandangannya berkunang-kunang, dan perutnya merasa kesakitan, Alvela terus berlari di lapangan sepak bola sekolah itu.

Alvela mengembuskan napas. Berusaha kuat hingga akhir.

Langkah gadis itu terasa begitu berat. Tak yakin mendapat nilai bagus. Namun setidaknya Alvela berhasil menuju titik finish.

Namun begitu tiba di tujuan, Alvela tak lagi mampu menahan penderitaannya.

Gadis itu menoleh, menatap Hangat yang berlari ke arahnya. Begitu juga dengan Yaffi yang meneriakkan namanya dengan begitu kencang.

Pandangan Alvela menjadi begitu kosong. Perlahan ia menunduk. Menatap ada darah yang mengalir di kakinya dengan begitu deras.

Linglung. Alvela terisak. Entah apa yang ia rasakan, Alvela tak paham. Seribu satu rasa sakit dan kecewa kini meraja di benaknya.

Tubuh Alvela mulai tumbang. Luruh ke tanah tanpa bisa ditahan-tahan. Teman-teman sekolah, guru olahraga, spontan memekik, dan berlari mendekat.

Namun yang Alvela lihat terakhir kali adalah wajah Hangat yang menangis, dan Yaffi yang begitu cemas.

***

SEHANGAT DIPELUK RAGAWhere stories live. Discover now