29. Bibit-bibit Romansa

4.3K 738 96
                                    

 Raga berdiam diri di sofa saat anak-anak riuh belajar bersama di ruang keluarga. Sebagian sedang minta diajari oleh Bhara, sebagian lagi dibimbing oleh Alvela, dan sisanya tekun belajar dengan riang bersama Yaffi.

Raga menatap tajam itu semua dengan tangan terlipat di dada.

Panas sekali!

Seperti sedang mencicipi neraka.

Belum lagi saat anak-anak itu dengan nyaman memanggil bunda kepada Alvela, dan memanggil Yaffi dengan sebutan ayah. Rasanya Raga ingin baku hantam!

Seni menahan tangan Arayi, meminta suaminya agar tidak ikut campur dan lebih memilih duduk tenang di sudut lainnya. "Kakinya masih sakit, Mas?"

"Udah nggak, Ni. Mas mau ke Mas Raga, ya."

Seni tersenyum garing sambil meremas paha Arayi. "Kaki kamu masih sakit, lho."

Arayi mengernyit. "Kok, kamu maksa kakiku sakit, Sayang?"

"Kaki kamu bakalan sakit kalau pergi ke sofa itu. Makanya di sini aja. Aku pijit mau?" Seni tersenyum lagi. Begitu lebar sampai Arayi ketakutan. "Ngerti nggak, sih, aku, tuh, lagi larang kamu supaya nggak ikut campur!" bisiknya dengan geram.

Arayi lantas mengangguk tertahan. Pria itu segera mengubah posisi. Mengangkat kaki kanannya hingga berada di pangkuan Seni. "Iya, ayo, Sayang, pijitin. Kaki mas sakit."

Arayi melirik ke arah Raga. Padahal, tadi sudah janjian mau berbagi tutorial cara cespleng menghamili istri.

Seni mengangguk tenang, namun matanya tajam menatap Arayi sambil berkata pelan, "Kalian itu sudah tua, sebaiknya jangan konyol. Perkara mereka mau gimana-gimana, kamu nggak usah ikut-ikutan. Kayak yang rumah tangga sendirinya udah paling bener aja."

"Tapi, Ni, mas emang jago, kan? Dari berdua, sekarang kita jadi berenam."

Bola mata Seni memutar dengan gemas. Prestasi mumpuni bagi Arayi adalah berhasil menghamilinya di usia yang tak lagi belia. "Iya, Mas emang jago. Tapi kalau soal rumah tangga orang, Mas nggak perlu ikut campur. Dikira aku nggak tahu apa kalau Mas ngomporin abang terus buat ngehamilin Alvela? Mas, mau hamil atau nggak hamil, itu urusan mereka. Kamu nggak mau, kan, gara-gara omongan kamu jadi nambah masalah baru? Pernah mikir nggak kalau abang tahu-tahu nekad tanpa persetujuan Alvela?"

Arayi menatap Seni dengan sedikit heran. Kok, jadi ngegas?

"Kok, kamu malah marah-marah, sih, Sayang? Jangan bilang kamu masih ad ...."

Seni melotot. Meremas paha kanan Arayi dengan kesal. "Aku nggak ada apa-apa. Yang ada apa-apa itu kamu, kan? Kalau nggak ada apa-apa, ngapain kamu getol banget ngomporin abang supaya hamilin Alvela?"

Arayi menghela napas. Enggan menjawab bahwa dengan Alvela hamil, akan semakin mengecilkan kemungkinan perempuan itu CLBK dengan Seni.

"Kamu, tuh, aturan jangan suka ik ...."

Arayi mengangkat telunjuknya. Menaruhnya ke depan bibir Seni lalu berkata, "Mau beli kalung baru nggak?"

Tak menunggu lama, Seni melupakan kedongkolannya. Ia tersenyum dan mengangguk. "Mau, lah."

***

Raga tetap tenang mengamati gerak-gerik Yaffi dan Alvela. Mereka dengan telaten membantu merapikan tas anak-anak. Sementara ia berdiam diri sejak tadi.

Menunggu saat-saat ia bisa bicara dengan Yaffi. Meminta agar pria itu tak lagi-lagi mencari panggung di sana. Raga tidak rela kalau ada penumpang gelap di rumahnya!

Hingga akhirnya Alvela pergi. Menyisakan Yaffi yang juga bersiap untuk pulang. Raga berdiri saat Arayi dan keluarganya juga pamit. Pria itu mengantar hingga ke mobil. Tersenyum hangat saat bayi kembar Seni memainkan tangan dan melambai kepadanya sambil tersenyum lucu.

SEHANGAT DIPELUK RAGATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang