6. Tidak Sebau Itu

3.7K 672 74
                                    

Raga menatap pintu ruang rawatnya. Bergeming, tak ada yang menyapa selain sepi.

Menghela napas, pria itu kini berusaha bangkit dari ranjang pesakitan.

Sudah 4 hari ia mendekam di rumah sakit. Selain tempat tidur yang lebih nyaman dan juga makanan yang lebih tepat waktu datang, segalanya tetap sama. Raga tetap hidup dalam kesendirian dan pemikirannya saja. Tidak jauh beda seperti saat ia di penjara.

Perlahan ia melepas infus. Lalu berjalan tertatih menuju pintu. Tangannya kemudian menjulur, membukanya perlahan. Lantas kepalanya menoleh ke kanan kiri. Herannya, tak ada polisi yang biasanya berjaga.

Jam 2 pagi, Raga memutuskan untuk pergi. Meski tertatih, ia akhirnya dapat melewati lobi dan mendapatkan taksi.

Tak ada tujuan pasti, namun hanya ada nama Alvela yang bergema di kepalanya.

Maka dari itu, 20 menit kemudian saat ia tiba di apartemen, Raga berdeham sejenak. Entah dari mana datangnya setan rindu yang kini menggelayutinya. Tak melihat Alvela barang sehari, rasanya ada yang kurang di dalam diri.

"Pak, tunggu sebentar, ya. Saya minta istri saya turun dulu. Saya nggak bawa uang soalnya." Raga mengeluh dalam hati, betapa sekarang ia begitu miskin dan rendahan.

Saat ia melangkah menuju lobi, tiba-tiba ada keraguan yang menyerang sanubari.

Ia dan statusnya sekarang ini, tak akan bisa mengimbangi Alvela yang digdaya.

Raga menghela napas. Ia nyaris berbalik menuju taksi untuk pergi saja tatkala sebuah mobil datang dan berhenti tepat di belakang taksi yang sedang menantinya.

"Loh, Pak Raga?" Zava keluar dari mobil itu. Diikuti oleh Belia yang muncul dengan tampang cemberut.

Raga mengernyitkan dahi. "Dari mana kalian malam-malam gini?"

Zava menggaruk tengkuk. Ia memberi kode kepada Belia agar gadis itu saja yang menjawab pertanyaan Raga.

Belia berdeham. "Ini, lho, Mas. Habis jemput Kak Alvela dari Avexis."

Raga menghela napas. Avexis, sebuah klub malam tempat di mana kaum-kaum elit datang untuk bermain dan mencari hiburan dalam ingar-bingar remang-remang. "Alvela mabuk?"

Raga melangkah mendekati mobil Zava, menengok ke dalam jok belakang di mana Alvela sedang berbaring sambil senyum-senyum sendiri.

"Biar saya aja yang urus." Raga berdiri, menatap Belia dan Zava.

"Gimana bisa Pak Raga yang urus?" Zava mengernyitkan dahi. "Pak Raga aja kayaknya lagi jadi napi sekaligus pasien buronan, nih."

Raga mendengkus. "Saya nggak kabur. Polisinya aja yang nggak ada. Maka dari itu saya minta tolong, Zav. Kamu ke rumah sakit. Gantiin saya tidur di sana sampai jam 7 pagi. Oke?"

Zava melongo. Lalu menatap Belia, mengiba bantuan. Namun nyatanya, Belia malah sedang sibuk mengulum senyum. Mengejek Zava.

Pemuda itu memang ada bakat menjadi budak sejati!

"Tapi, Pak ...."

"Zava." Raga menatap Zava dengan begitu dingin. Membuat Zava menciut sekaligus segan. Mau tak mau, Zava tampaknya harus patuh kepada lingkaran setan keluarga Madaharsa.

Raga beranjak membuka pintu mobil Zava. Sedikit kesusahan, ia berhasil mengeluarkan Alvela dari mobil. Lalu mengangkatnya dengan perlahan.

"Pak, inget, Pak. Itu perut habis dibelek." Zava memperingatkan dengan sedikit kesal. Namun Raga tak memedulikan.

"Dasar bucin!" Zava menggerutu pelan sambil menendang udara.

Belia pun hanya bisa menggelengkan kepala. "Masnya butuh cermin?"

SEHANGAT DIPELUK RAGATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang