23. Hamili Saja!

4.3K 891 190
                                    

Di tengah malam itu, Raga masih terjaga.

Bukan sebab kasur yang tak nyaman, atau udara yang tak sesuai keinginan. Segalanya sudah nyaman. Kasurnya, ranjangnya, temperatur udaranya, wangi kamarnya. Semua sangat nyaman di benak Raga.

Pikiran Raga terasa penuh. Terasa lebih berat ketimbang saat ia dipenjara. Kini, ia harus mulai berpikir apa yang akan ia lakukan, apa yang akan ia cari, dan terpenting, apa yang sebenarnya ia inginkan?

Di sampingnya, ada Alvela yang tertidur pulas. Perempuan yang kebiasaan memakai pakaian mini bila berada di rumah itu tidur meringkuk, memunggungi Raga. Alvela tak canggung sama sekali. Bahkan terkesan memang tidak ada rasa.

Raga menghela napas sambil memiringkan tubuh. Menatap punggung Alvela dalam diam. Mencoba mencari, apa yang sebenarnya ingin ia bentuk lewat tubuh itu?

Rumah tangga yang seperti apa?

Ikatan yang macam apa?

Rasa kasih yang bagaimana?

Alvela menatapnya sebagai laki-laki, tapi tidak sebagai suami.

"Hamilin aja, Mas."

Begitu kata Arayi saat Raga berkunjung kemarin-kemarin.

"Seni jadi agak nggak nyolot setelah punya bayi lagi."

Benarkah? Benarkah bayi bisa mengubah segalanya?

"Seni lebih parah dari Alvela, Mas. Sebelum ada Gamma, Mas pikir gara-gara udah nikah ulang dia jadi baik dan perhatian? Nggak! Ngimpi banget kalau Seni gitu."

Raga mengernyitkan dahi. Sejauh ingatannya melayang ke masa lalu, mempunyai anak tidak pernah ada di daftar keinginan hidupnya. Jangankan jadi ayah, jadi suami orang saja Raga maju mundur.

"Kalau dihamilin, siapa tahu naluri wanita tulennya bisa balik perlahan, Mas."

Raga menghela napas. Iya, kah? Apa perlu ia coba? Toh, menghamili Alvela adalah hak patennya.

"Eh, jangan salah, Ferguso! Kasus homo lesbi di dunia ini udah makin serem. Kalian nggak tahu bahwa di luar sana banyak homo pada berkeluarga dan jadi ayah hanya demi nutupin identitas aslinya? Kalian nggak tahu di luar sana juga ada lesbian yang jadi mama hanya demi nama baik keluarga?"

Sialan!

Raga bangkit dari tidur. Menggelengkan kepala saat omongan Seni kembali menyapa otaknya.

Bagaimana jadinya kalau hal itu yang sedang ia jalani?

Bahkan Alvela dulu pernah mengaku bahwa ia menyukai pernikahan itu demi nama baik semata. Agar ia tidak dipandang sebagai lesbian yang hina.

Bagaiman jika Alvela bersedia dihamili, tapi anak mereka akan berakhir menjadi pesakitan saat mengetahui hubungan tak sehat di antara orang tuanya?

"Kenapa, Raga? Nggak bisa tidur, ya?" Alvela bersuara sambil menggeliat pelan. Lalu menyipitkan mata saat ia melihat Raga tertunduk sambil meremas kepala dalam temaram.

"Kok, bangun? Saya berisik, ya?" Tubuh Raga menegak. Ia menoleh ke belakang, menatap Alvela yang masih tiduran.

"Berisik apanya? Hening gini. Kamu lagi ngocok emang?" Alvela terkekeh menggoda. Ia paham, Raga adalah laki-laki normal. Jelas butuh asupan setelah sekian lama dipasung keadaan. "Di kamar mandi, lho, sana ada sabun."

SEHANGAT DIPELUK RAGATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang