28. Bisikan Maut

4.2K 788 81
                                    

"Menurut kamu, kita aneh nggak, sih?" Alvela duduk di kursi mini bar dengan tangan menyangga dagu. Sedangkan di depannya Raga sedang sibuk memasak kakap ikan yang akan ia olah menjadi gulai.

"Aneh kenapa?"

"Nikahnya. Nikah karena perjodohan, karena bisnis. Belom lama nikah, kamu masuk penjara. Terus, kita pisah ranjang 2 tahun lebih. Udah gitu, baru sekarang kita pendekatan kayak gini. Aneh nggak, sih? Kayak telat hype gitu pernikahan kita."

Raga tersenyum kecil. "Lebih baik telat hype daripada nggak nikah sama sekali sama kamu."

Alvela lantas bersemu. Entah lah, akhir-akhir ini ia merasa seperti orang lain. Ia bahkan tak pernah peduli dengan wajah tampan artis-artis yang ia temui di studio. Atau model-model kawakan yang ia undang untuk menjadi tutor di Paradise Modeling School.

Tak jarang, pria-pria tampan itu suka tebar pesona di sekelilingnya. Tapi hati Alvela tak pernah tergugah. Di matanya, semua pria tak pernah ada yang istimewa.

Alvela sadar, ia adalah lesbian hina. Tapi, pria-pria di muka bumi selalu punya borok yang membuatnya jijik. Alvela tak pernah berminat menyukai, apalagi memberi perasaan.

Dunia memang sudah gila.

Yang perempuan pura-pura jadi laki-laki. Yang laki-laki, suka dengan laki-laki.

Banyak sekali bukan teman Alvela?

Tapi yang mampu menjadi sahabat hanyalah suaminya seorang, Samudra Raga Taksaka!

"Kamu itu dulu bukannya hidup bagai pangeran, ya? Kok, kamu bisa ngelakuin apa aja, sih, Ga?"

"Sebelum jadi pangeran di istana ayah dan istri keduanya, jangan lupa bahwa saya pernah jadi kuli saat tinggal bersama ibu. Kami hidup terbatas selama bertahun-tahun. Saya dan Seni harus menguasai basic skill kehidupan kalau nggak mau mati di tengah jalan."

Alvela merengut. Sedih lagi kalau ingat cerita masa lalu Seni.

"Saya bisa masak karena ibu, saya bisa jadi pengusaha meubel karena pernah kerja jadi kuli di perusahaan retail, saya bisa ngerti soal dunia pertambangan karena ayah dan segala tuntutannya. Bisa dibilang, saya khatam di challenge hidup apa pun. Kecuali, saya nggak pernah khatam dalam hal berbakti sama orang tua. Juga, saya nggak pernah khatam dalam ngerti soal cinta."

Raga melempar celemek baru yang ia ambil dari kabinet atas. "Jangan bengong, bantuin suami kamu masak, dong!"

Alvela mengeluh keras-keras. Ia sejujurnya malas sekali kalau harus masak yang susah-susah. Tapi, kalau ingat kata Yaffi, dia harus semangat.

Yaffi bilang, Raga bisa saja jadi jembatan untuk Alvela kembali ke kehidupan yang lama.

Alvela ingin meyakini hal itu. Sungguh! Maka dari itu, Alvela mensugesti dirinya sendiri untuk sembuh, dengan cara sering menatap wajah Raga lama-lama. Tidak menolak saat digoda. Atau, tidak marah saat dipuja-puja yang manisnya bagai gula jawa.

"Kamu masukin bumbunya, ya. Tumis dulu sampai harum." Raga menyodorkan semangkuk bumbu dan rempah yang sudah ia haluskan.

Alvela menerimanya dengan malas-malasan. Namun, kalau sekedar tumis menumis ia sudah agak jago.

"Raga, kenapa kamu dulu jatuh cinta sama saya?"

Sepasang suami istri yang sama-sama sedang menghadap kompor itu lantas tersenyum sendiri karena geli. Apalagi Raga. Topik pembahasan seperti itu sebenarnya membuat ia malu.

"Nggak ada alasan spesifik. Yang jelas, dulu setiap saya antar barang atau mau bantu-bantu setting studio di VETV, kamu paling menonjol. Anak SMA yang cantik dan riang. Mata saya selalu lihat kamu."

SEHANGAT DIPELUK RAGAWhere stories live. Discover now