5. Diperkosa Waktu

4.4K 713 82
                                    

Alvela berdecak saat kembali memasuki rumahnya.

Rumah itu memiliki wangi yang membuatnya muak. Menyimpan aura manis yang membuat hatinya teriris.

Di rumah megah itu hatinya mati, ibunya mati, ayahnya juga mati.

Perempuan cantik yang hobi bergaya kasual itu melangkah masuk diiringi oleh langkah lainnya.

"Namanya kenapa Home of Alexandria? Kayak bukan nama panti asuhan, deh." Orang di belakang Alvela mulai bersuara. Namun Alvela tidak ada minat untuk menimpalinya.

"Rumahnya gede banget. Tapi serem-serem gimana gitu, ya."

Lagi-lagi Alvela melangkah tak menggubris. Kepalanya berputar-putar bak sedang pengar.

"Kapan anak-anaknya mulai datang?"

Alvela mengangkat bahu, ia berjalan menuju dapur untuk meminum air mineral dingin yang ia ambil dari kulkas. Ia memang sudah sempat berbenah dan belanja untuk persediaan tukang-tukang yang sebentar lagi bekerja.

"Harus ganti cat, nih."

"Kasih balon-balon."

"Terus hiasan-hiasan lucu."

"Atau dindingnya digambar buah-buahan atau bunga-bunga. Cakep!"

"Terus nanti taman depan dikasih ayunan, lapangan basket, kolam ikan."

"Pintu gerbangnya juga diganti biar nggak ser ...."

Alvela melempar botol sambil berbalik dengan geram. "Bhara! Berisik banget, sih, kamu!"

Bhara kaget, mengusap dada, lalu meringis menatap Alvela dengan sedikit ngeri. "Tante, ih. Aku jadi kaget."

Alvela melotot, sampai anak yang baru pulang sekolah itu berdiri gusar. Dia dan keponakannya itu memang kurang dekat. Lebih tepatnya, Alvela yang agak malas kalau harus dekat-dekat dengan Bhara.

Sore itu, kalau bukan Seni kerepotan gara-gara Gamma sedang meriang dan suaminya pergi ke Kuala Lumpur bersama Zava, amit-amit jabang bayi, malas sekali Alvela disuruh jemput anak orang di sekolahnya.

"Kamu, tuh, udah gede, Bhar. Mau sampai kapan gitu nyusahin orang mulu kerjaannya? Ketimbang pulang sekolah sendiri aja nggak bisa." Alvela berkacak pinggang, mendekati Bhara dengan tatapannya yang garang.

Bhara mendengkus. Alvela, selamanya adalah tante penyihir yang kurang ia sukai. Tapi mau bagaimana lagi, tante penyihir itu kini sudah jadi tante betulannya. "Bukannya nggak bisa, Tante. Tapi nggak boleh! Mama takut aku diculik lagi."

Alvela berdecak. "Semua penculik bakalan tekor kalau targetnya kamu. Tukang makan, lebay, manja, kayak reog!"

Bhara mengelus dada. Agaknya kurang apa lagi hinaan yang menerpa di kehidupannya?

Tapi sebagai pemuda Indonesia yang gagah berani maju tak gentar, Bhara akan tetap menyayangi Alvela apa pun yang terjadi dan yang berbunyi.

"Udah kelas 1 SMA, masih aja sok imut, nggak lucu banget."

"Tapi, kan, orang ganteng itu bebas. Mau lucu beneran, mau lucu bohongan, kalau muka udah ganteng, orang-orang pasti memaafkan. Kecuali Tante Alvela nih, ke aku kayak benci banget. Capek, deh!" Bhara berkata dengan santai. Ia lantas pergi berkeliling rumah.

Tak peduli dengan Alvela yang kini memutar bola matanya dengan malas. Titisan hakikinya Arayi selamanya akan menuruni sikap memuakkan milik Arayi. Sok kecakepan!

SEHANGAT DIPELUK RAGATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang