20. Terbiasa Mengkhayal

3.6K 872 147
                                    

Suara gemericik air masih terdengar dari dalam kamar mandi. Begitu pula dengan gerutuan keras dari Bhara yang mengaku wajahnya terasa panas dan perih.

Yaffi masih berusaha tersenyum. Tangan kirinya mengelus punggung Bhara yang ia minta jongkok dengan sedikit mencondongkan kepala ke depan. Sementara tangan kanan Yaffi memegang shower, dan mengarahkannya ke wajah Bhara yang terkena cipratan minyak panas.

"Ke rumah sakit aja, Pak. Yuk, please." Bhara merintih.

"Iya, nanti. Ini pertolongan pertama dulu," Yaffi menjawab dengan sabar. "Bapak lihat lukanya nggak terlalu banyak, kok. Masa mau ke rumah sakit?"

"Ya, tapi, gimana kalau muka aku jadi jelek, Pak? Nanti mama ninggalin aku lagi!" Bhara berseru agak keras sekarang. Sementara Alvela yang berdiri di ambang pintu kamar mandi hanya mengamati sepasang guru dan murid itu dengan geli.

"Jangan mikir kejauhan. Mana ada mama yang ninggalin anaknya gara-gara kecipratan minyak panas?" Alvela memberikan suaranya dengan sedikit mencibir.

"Tante nggak tahu, sih! Aku nggak bisa denger aja aku udah insecure banget. Apalagi kalau muka aku rusak, Tante!"

"Tapi muka kamu nggak rusak, Bhara!" Alvela maju, menarik anak itu untuk berdiri dan membawanya ke depan cermin. "Tuh, lihat! Cuma jadi merah dikit aja. Nggak rusak. Ini nanti dikasih salep juga sembuh. Jangan rewel, dong, jadi cowok!"

Bhara merengut. Mau kemerahannya sedikit atau banyak, yang namanya luka, ya, tetap luka. Ya, sakit. Ya, berbekas.

"Ya, udah. Beliin salepnya sekarang, Tante," kata Bhara, sedikit memaksa.

"Udah lagi dibeliin, tenang aja." Yaffi maju, lalu menunjukkan ponsel yang sedang melacak keberadaan driver ojek online yang menerima orderan salepnya.

Melihat gelagat Alvela yang tak ada hangat-hangatnya membuat Yaffi kini bergegas membawa Bhara ke ruang tamu. Mendudukkan anak itu di sofa. Lalu saat salep yang dipesan tiba, Yaffi dengan telaten mengobati Bhara.

Gerakannya luwes dan lembut. Bhara yang tadinya benci, malah tidak risi sama sekali. Yaffi hangat, seperti Arayi.

Begitu juga, Alvela ikut mengamati Yaffi dalam diam.

"Kamu selalu seperhatian ini sama anak didik kamu? Atau kamu baik sama dia gara-gara Bhara itu keponakanku?"

Yaffi terkekeh saat mendengar pertanyaan Alvela, namun gerakannya dalam mengobati pipi merah Bhara sama sekali tak berhenti. "Aku banting setir jadi guru, karena aku sayang sama anak-anak. Bikin aku ngerasa balik ke masa-masa SMA kita, Al."

"EHEM!" Bhara yang mengendus bau-bau modus segera berdeham kencang.

Yaffi menoleh, menatap Bhara lalu tertawa kecil. Anak itu memang kadang agak lain. "Jangan sensi gitu sama bapak, Bhar. Saya nggak seperti apa yang kamu pikirkan."

"Emang apa yang aku pikirin?" Bhara mencibir, menantang Yaffi meski Alvela juga kini sudah mulai melotot ke arahnya.

Bukannya menanggapi, Yaffi masih saja tersenyum. Tangannya menjulur, mengusap kepala Bhara dengan lembut. Lalu membolak-balik wajah Bhara, memastikan tidak ada luka lain yang terlewat. "Kamu nggak perlu operasi plastik, sih, ini. Nanti akan sembuh, kok. Malahan, cowok kalau ada lukanya jadi kelihatan manly."

Bibir Bhara mengerucut kesal. Tapi Alvela justru terpukau dengan cara Yaffi memperlakukan Bhara sedari tadi.

Mantannya yang dulu keparat itu, kini berubah menjadi bapak-bapak yang begitu perhatian kepada anak-anak.

SEHANGAT DIPELUK RAGATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang