38. Assalamu'alaikum, Bu!

3.4K 621 57
                                    

"Menurut kamu, bisnis kost aku di Depok enaknya kukasih nama apa, ya?" Bhara menyilangkan tangan sambil berpikir keras. Peluhnya bercucuran. Rambutnya lepek karena berkeringat.

Anak itu selonjoran di tribun samping lapangan basket. Di sampingnya ada si sok misterius Praha dan si tengil Hazel. Sudah tiga tahun berlalu sejak tragedi perkelahian yang membuat mereka malah menjadi sahabat dekat hingga duduk di kelas 12.

"Halah, bisnis aku bisnis aku. Orang itu bisnis papamu, Bhar." Tuh, Hazel mulai mencari perkara.

Bhara mendengkus. "Iya, lah. Bisnis papaku. Tapi tetap aja ujung-ujungnya bakalan jadi punyaku. Harta orang tuaku, kelak akan jadi milikku." Bhara meringis seperti setan, mengintimidasi Hazel dengan usil.

"Gaya! Modal warisan aja bangga! Lagian, inget, warisannya Arayi Madaharsa nanti dibagi EMPAT! EMPAT, woi!"

"Daripada, udah nggak punya warisan, gaya pula. Bisanya cuma iri-iri sama yang punya warisan. Nyinyirin, modal warisan aja bangga! Bilang aja, pengen dapat warisan juga."

"Yeee, orang itu bakalan leb ...."

"Berisik banget, sih!" Praha merentangkan tangan. Dia memang duduk di antara Bhara dan Hazel. Cowok yang dulu berlagak sok seperti casanova itu kini berubah pendiam. Terkena tamparan bahwa di atas langit masih ada langit gara-gara omnya Bhara.

Sejak saat itu, orang tuanya makin mengatur dan mengawasi gerak-geriknya. Namun, tanpa disangka, Praha justru menikmati dunianya setelah diatur dan dibimbing sepenuhnya oleh orang tua. Rasanya jadi lebih teratur. Karena meski diatur sedemikian rupa, hak dan wewenangnya sebagai seorang anak dalam mengambil keputusan masih bisa ia dapatkan.

"Aku, kan, cuma minta pendapat, lho, Praha!" Bhara manyun. Lalu memeletkan bibir kepada Hazel.

"Kasih aja nama Kost Tuan Bhara." Praha menjawab dengan santai. "Atau Bhara Residence. Nggak mungkin, kan, kosan papamu itu kamar yang biasa-biasa aja? Pasti yang bayaran bulanannya paling nggak 1jt ke atas, deh."

Bhara tersenyum kecil. Bagus juga idenya Praha, juga benar. Kost yang sedang dibangun papanya memang kost kelas menengah ke atas.

"Tapi, kalau mau ngeklaim bisnis papamu yang itu, ya, kamu jangan terima beres, lah. Ikutan andil ngerjain apa, kek."

Bhara menjulurkan tangan, lalu merangkul Praha dengan bangga. "Pinter banget calon dokter."

Ketiga pemuda itu tertawa-tawa kecil. Tiba-tiba saja waktu luang sehabis berolahraga itu mereka gunakan untuk membuat sosial media bisnis kost milik Arayi. Bhara membagi kata sandi kepada Praha dan Hazel. Mengajak mereka berdua untuk menjadi tim sukses dan marketing junior dalam mempromosikan kost itu nantinya.

Diselingi umpat-umpatan usil di antara Hazel dan Bhara, diskusi itu terasa menyenangkan. Namun, ketiganya kompak terdiam saat melihat sepasang sepatu super mengkilap yang berdiri di depan mereka.

"Pak Yaffi?"

Bhara, Praha, dan Hazel kompak berseru. Sementara itu Yaffi tersenyum begitu hangat. Pipi kanan pria itu terlihat lebam. Sementara itu, ada tas hitam yang tersampir di pundak kanan sang guru.

"Pak Yaffi habis ngapain? Tinju? Pipi bengkak, tuh." Bhara menunjuk dengan santai. Tapi juga lumayan khawatir. Selama nyaris tiga tahun bersekolah di CGHS, Yaffi selalu tampil dengan rapi dan mentereng. Baru kali ini terlihat loyo.

Yaffi menghela napas. Menjatuhkan tasnya ke lantai tribun, dan menyusul duduk di samping Hazel. "Saya seneng lihat kalian bertiga jadi akur begini."

SEHANGAT DIPELUK RAGAWhere stories live. Discover now