33. Sungguh-Sungguh Sayang

4.2K 820 43
                                    

Arayi mengembuskan napas sambil melonggarkan dasinya. Pria itu turun dari mobil dengan lunglai. Seharian mengunjungi pabrik di Jababeka membuat energinya lumayan terkuras.

"Nggak mau pulang aja, Pak?" Zava yang berjalan di belakang sambil membawakan tas Arayi bersuara. Mereka berhenti di depan lift saat Arayi lagi-lagi menghela napas keras-keras.

"Masih ada kerjaan sebentar, Zav."

"Jangan ngoyo, lah, Pak. Semuanya aman, kok. Jangan kemakan ancaman ibu, dong. Udah rujuk 3 tahunan masa masih nggak hafal bercandaan ibu."

"Dia nggak bercanda tahu, Zav, kalau udah ngomongin harta. Lagian, saya kerja keras kayak gini bukan semata-mata demi Seni. Anak saya sekarang empat. Mereka harus saya jamin dari sekarang. Selagi saya mampu, saya bakalan mempersiapkan masa depan yang baik buat mereka."

Zava mencibir dalam hati. Punya anak satu kurang, punya anak empat kelabakan ngumpulin warisan.

"Tapi, Pak. Kalau sering-sering kecapekan kayak gini, yang ada bentar lagi Bhara yang jadi CEO baru Gajah Mada."

Arayi mengernyitkan dahi, balik badan, menatap Zava dengan begitu tajam. "Kamu nyumpahin saya mati muda?"

"Emang Bapak masih muda?"

Sialan!

Arayi tak berkutik. Usia 40an memang benar bukan usia muda lagi. Kalau dia mati di usia sekarang, sudah tidak bisa dikatakan mati muda. Kematiannya akan menjadi wajar.

"Pak, jangan serius-serius. Saya bercanda." Zava terkekeh sambil mengikuti Arayi memasuki lift. "Tapi, soal Bapak jangan kecapekan saya nggak bercanda. Serius, lho, Pak. Udah berapa kali Bapak masuk rumah sakit dalam setahun ini? Bisa-bisa, kalau keseringan sakit, Ibu malah lari nyari cowok yang lebih sehat."

"Zav, mulutmu mau dirobek pakai gergaji, ya?" Arayi mengepalkan tangan. Namun pada akhirnya ia menabok kepala Zava dengan gemas.

Zava mengaduh sambil tertawa-tawa. Tabokan Arayi berbunyi nyaring. Tapi untuk dikatakan sakit, tentu tidak terlalu. Ia senang saja memainkan perasaan atasannya. Semakin ia mengingatkan bahwa Arayi itu lemah, semakin banyak proyek yang akan diwakilkan kepadanya. Itu artinya, semakin banyak pula bonus yang akan ia dapatkan.

Dalam ringisannya, Zava sudah membayangkan. Ia akan membeli rumah mewah di Bogor untuk ayank Belia. Membeli mobil SUV mewah untuk ayank Belia, dan menyelenggarakan pesta pernikahan yang megah bersama ayank Belia.

"Gila kamu!" Arayi balas mencibir. Lalu keluar dari lift dengan kesal. Untung, Zava bisa diandalkan baik secara tenaga, pikiran, dan juga loyalitas. Kalau tidak, punya asisten sekurang ajar itu pasti sudah dia gorok dengan samurai.

Arayi membuka ruangannya dengan keras sambil menggerutu, "Berengsek dia emang! Kurang ajar!"

"Ih, Papa ngumpat!"

Arayi yang nyaris duduk spontan terjungkal begitu ada suara puber khas remaja mengudara di ruangan kerjanya. Kepalanya menoleh, mendapati Bhara sedang tiduran di sofa sambil menatapnya dengan datar.

"Bhara, ngapain di situ?"

Bhara yang masih memakai seragam sekolah dengan rambut acak-acakan itu bangkit dan duduk dengan lemas. "Papa dari mana?"

"Dari pabrik, Nak." Arayi berjalan ke sofa, mendekati Bhara, dan duduk di samping putra sulungnya. "Kok, lesu banget?"

Bhara mendengkus. "Aku sekarang tiap hari kepikiran mama."

SEHANGAT DIPELUK RAGAWhere stories live. Discover now