30. Mekar-mekar Sihir

3.9K 774 97
                                    

Alvela terdiam kaku tanpa bisa melakukan apa-apa.

Di sampingnya, Raga terkapar dengan mata terpejam erat. Katanya, sakit kepala. Sudah pemanasan, tapi tidak dipanaskan. Kadung bergairah, tapi terhenti mendadak dengan parah.

Alvela memiringkan tubuh, menaikkan selimut hingga ke lehernya. Membelakangi Raga yang sama sekali belum bisa istirahat dengan tenang.

Perempuan itu bukannya sedang halangan. Alvela tidak sedang menstruasi. Dia hanya merasa belum siap mengulang kembali adegan demi adegan erotis yang membuat hidupnya pernah hancur selapis demi selapis.

Alvela takut. Sentuhan Raga mengingatkannya dengan belaian Veda di tubuhnya dulu. Alvela takut kesakitan pada masa lampau kini hadir lagi meski dengan raga yang berbeda.

Alvela memejamkan mata. Berusaha acuh tak acuh dengan Raga yang sesekali meringis dan bergerak tak nyaman.

"Raga, maaf saya nyusahin kamu."

Raga membuka matanya. "Kamu nggak pernah nyusahin saya."

Alvela berdecak kecil. Mana ada tidak pernah menyusahkan Raga?

VETV bisa terus berkibar berkat investasi Raga dan keluarganya. Ia dan Bintang bisa bebas tanpa kekangan, berkat Raga yang berani menyingkirkan Veda. Harga segunung yang kini ia genggam pun berkat Raga. Bhara yang tak ke mana-mana, juga karena Raga yang mengorbankan diri memberi pelajaran istri pertama Arayi.

Bahkan, Alvela menemukan semangat hidupnya hanya dengan membayangkan membawakan makan siang untuk Raga selama di penjara.

Seni dan kehidupan keluarga besarnya, tentu tak lagi sering bisa ia ganggu dan sapa.

Belia dan tanggung jawab pekerjaannya, juga tak lagi bisa sering ia temui seperti dulu kala.

Raga ... menjadi satu-satunya yang membuat Alvela merasa tidak sendirian, meskipun selama dua tahun ke belakang mereka terpisah ruang.

"Raga, sebenarnya saya nggak lagi haid. Saya cuma merasa nggak siap untuk berhubungan tubuh dengan pria." Alvela berkata dengan lirih.

Suami istri yang saling memunggungi itu lantas terdiam selama beberapa waktu. Raga menghela napas, kekecewaannya ia pukul mundur sejauh mungkin, jangan sampai Alvela merasakannya.

"Nggak papa, saya nggak akan maksa juga."

Jawaban Raga yang terdengar ikhlas itu justru membuat Alvela cemas.

"Al, apa yang gue tahu selama 12 tahun kita bareng-bareng, kehangatan kita sampai sejauh mana, sampai separah apa, gue masih ingat banget."

Alvela teringat obrolannya dengan Seni sore tadi.

"Lo bilang lo lesbi, kan? Dan gue pikir gue juga lesbi waktu itu. Tapi, seinget gue, kita nggak pernah ngelakuin hal yang lebih jauh dari pelukan dan kecup-kecup sayang di kening. Itu artinya, sama kayak gue, lo juga masih ada kesempatan untuk berubah, Al. Lo nggak serusak yang lo pikir. Lo bahkan hanya punya gue sebagai orang yang lo anggap sebagai pasangan. Meskipun mulut lo kadang kurang ajarnya ngelebihin laki-laki, tenaga lo juga sekuat pria, tapi lo masih kelihatan kayak perempuan tulen ketimbang perempuan lesbi."

Alvela membenarkan apa kata Seni. Selama dulu mereka tinggal bersama di Belanda, tak pernah ada ranjang panas yang tercipta. Atau kamar mandi yang mereka buat babak belur. Tak pernah ada kegiatan senonoh. Hanya ada peluk-peluk tak biasa, kecup-kecup di kening sebagai validasi kepunyaan di antara Seni dan Alvela.

"Lo harus yakin, kalau lo bisa tahan selama 2 tahun ini sama Bang Raga, gue rasa bukan serta merta karena lo butuh pencitraan. Lo bahkan melakukan hal yang nggak biasa lo lakukan untuk orang lain, Al. Tanpa sadar, lo udah mengorbankan waktu, tenaga, dan pikiran lo buat Bang Raga. Lo bisa banget, Al, buat pulang ke rumah yang semestinya. Lo harus lawan sugesti-sugesti nggak bener yang ada di kepala. Lo inget, kan, di antara kita, lo adalah orang pertama yang percaya kalau Bang Raga itu orang baik! Lo duluan yang percaya sama dia. Itu karena lo pakai hati, Al. Lo masih punya hati."

SEHANGAT DIPELUK RAGAWhere stories live. Discover now