36. Bisul-Bisul Cinta

3.2K 761 40
                                    

"Bang, ya ampun, jelek banget!" Seni berseru begitu tiba di kamar rawat Raga.

Seni datang bersama Arayi yang langsung mencubit pinggang sang istri. Sungguh, bakat julid Seni sudah mendarah daging. Menghina secara eksplisit pun seolah tanpa beban.

Raga yang masih rebahan karena demam pun hanya diam tak menimpali. Iya, memang, dia sedang sangat jelek sekarang.

Bintik-bintik merah belum sepenuhnya reda. Ia bahkan baru saja diolesi krim obat gatal ke seluruh tubuh dibantu Kamael. Kini, ia hanya sedang memakai celana dalam saja, lalu tubuhnya ditutupi oleh selimut tipis berbahan lembut dan terasa dingin di kulit.

"Mas, kok, bisa?" Arayi mendekat, duduk di kursi di dekat ranjang Raga.

"Alergi, Ray." Raga menjawab seperlunya. "Gimana kabar kalian? Anak-anak di mana?"

"Bhara lagi les persiapan ujian. Gamma, Lova, sama Aiva di rumah dijagain mama sama suster."

"Sehat semua tapi, kan, Ray?"

"Alhamdulillah, Mas. Makin seperti pasar rumahku."

Raga tertawa kecil. Sementara itu Seni mendekati Raga, menatap pria itu dengan seksama. "Emang, alergi kacang ijonya Abang bisa separah ini, ya? Perasaan, dulu nggak sampai segininya, deh."

"Mana abang tahu, Ni. Tadi, tahu-tahu bintik-bintiknya lebih banyak. Pusing, lama-lama nggak bisa napas. Kamu nggak ngasih tahu Alvela, kan, Ni?"

Seni menyeringai tipis, ya, sudah kasih tahu lah. Biar Alvela juga bisa melihat bahwa suaminya itu ringkih. Makan kacang hijau saja bisa mau mati. "Belum kukasih tahu," bohongnya.

"Lagian, Mas, udah tahu alergi kacang ijo, kok, tetep makan, sih?" Arayi kembali bersuara. Ditatapnya wajah Raga yang memerah. Bintik-bintiknya agak mengerikan. Amit-amit jabang bayi, jangan sampai dia mengalaminya.

Tapi, apa bisul bisa tumbuh di atas kulit hasil operasi plastik, ya?

Arayi memutar bola matanya, menghentikan imajinasi konyol yang baru saja mampir di kepala.

"Nggak tahu kenapa tadi lihat karyawan lagi makan bubur kacang ijo malah pengen makan juga. Makan dikit kupikir nggak apa-apa. Sesendok dua sendok gitu, Ray. Tapi malah ngerasa nggak cukup. Bubur semangkok habis. Tahu-tahu jadi begini."

Seni mencebik keras. Dia segera duduk di pinggir ranjang Raga dan mencondongkan tubuh ke wajah abangnya. "Ngidam! Istrimu lagi hamil kayaknya. Bagi tugas deh kalian, ya? Alvela muntah-muntah, Abang yang ngidam. So sweet!"

"Alvela muntah-muntah, Ni? Serius?" Andai saja ia sekarang sedang berpakaian lengkap, tentu Raga sudah bangun dari ranjang dan duduk meminta penjelasan lengkap dari Seni. "Kapan muntah-muntahnya?"

"Tadi, pas di SKYE." Seni dengan enteng menjawab.

Sementara itu di salah satu bilik toilet di rumah sakit, Alvela sedang terdiam sambil memegang testpack. Katanya, kalau hamil akan ada garis dua yang muncul. Tapi, kalau garis satu, artinya ia hanya masuk angin saja mungkin.

Alvela mengambil napas, lalu menatap testpack dengan sedikit risau. Tidak merugikan, hamil ya tidak apa-apa. Tidak hamil pun tidak mengapa.

Saat benda itu hanya memunculkan satu garis saja, entah mengapa perasaan Alvela justru mendadak mendung.

Kata tidak mengapa yang hatinya sesumbar ucapkan, justru raib entah ke mana. Rasanya, belum hamil seperti ini malah membuatnya tidak baik-baik saja.

SEHANGAT DIPELUK RAGATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang