8. Bhara dan Segala Kejutan

4.6K 801 104
                                    

Sejak ia terusir dari hidup damainya, Alvela mungkin punya sejuta rencana untuk membentuk ulang jiwa.

Dulu, begitu Hangat dipaksa menghilang dari jangkauan mata, Alvela bertemu Seni yang hancur dan akhirnya memutuskan untuk pergi ke Belanda. Meski saat itu hati patah-patah begitu parah, Alvela masih sanggup menjadwal ulang hidupnya.

Mau jadi apa, ingin membentuk Seni seperti apa, ingin dirinya berubah bagaimana, Alvela memiliki sejuta rencananya.

Namun, untuk duduk di tribun yang hanya didatangi beberapa orang, dengan riuhnya pertunjukan lumba-lumba di depan sana, Alvela tak pernah membayangkan ia akan menontonnya bersama Raga.

Belakangan, Raga menjadi agenda yang tak pernah ia rencanakan.

Apa yang terjadi bersama Raga, terjadi begitu saja. Tak pernah Alvela perhitungkan, tak pernah dipikir matang-matang.

Alvela menggaruk kepala.

Di depan sana, ada lumba-lumba yang sedang bertingkah lucu. Berenang berputar-putar lalu melompat tinggi melewati lingkaran. Terdengar gelak tawa anak-anak di area tribun bawah saat air dari kolam menciprat ke luar karena dimainkan lumba-lumba.

Ia dan Raga yang duduk di tribun paling tinggi hanya terdiam.

"Kita se-random ini, ya." Alvela bersuara sambil menatap Raga yang terdiam memandang lurus ke depan. "Tadi peluk-pelukan di kuburan, sekarang nongkrong di Dufan."

Raga terkekeh.

"See, Raga? Anak kecil itu berisik. Lihat lumba-lumba saja hebohnya minta ampun."

"Bagi mereka, itu hal yang hebat, Al." Raga bersuara. Pria yang mengenakan kacamata hitam, masker, dan topi itu tak menoleh. Matanya terus menikmati kebebasan yang ia miliki hari itu.

"Pernah punya cerita apa tentang hal hebat kamu di masa kecil?" Alvela menghela napas. Ia meluruskan kaki. Di barisan itu, hanya ada dia dan Raga. Sementara beberapa keluarga yang heboh bersama anak-anaknya duduk di dekat kolam pertunjukan.

Raga mengangkat bahu. "Mungkin saya pernah mikir kalau ayah itu orang yang hebat. Saya sampai bercita-cita untuk bisa tumbuh dewasa seperti ayah."

Terdengar tawa sinis dari Alvela. "Sialan. Sama kita. Saya juga pernah mikir kalau saya punya papa yang hebat. Setiap ada masalah, saya lari ke dia. Ternyata, dia setengah hati."

"Habis ini mau ke mana?" Raga menoleh. Menatap wajah santai Alvela dari samping.

Wanita itu begitu cantik dan apa adanya. Ketimbang Seni yang suka berdandan, Alvela tampak natural tanpa bedak tebal-tebal. Raga benar-benar tidak rela jika raga seindah itu ternyata tak butuh malaikat tampan untuk menyempurnakan hidup.

"You name it. Kamu mau ke mana? Kamu kan narapidana. Besok udah balik ke penjara. Kalau saya, sih, tiap hari bisa ke mana saja." Tangan Alvela bergerak, menyikut pelan lengan Raga.

Raga mendengkus kecil. Alvela selalu memperjelas statusnya sekarang.

"Saya memang sedang dibebaskan hari ini. Tapi saya nggak masalah kalau harus ngikutin kemauan kamu. Saya nggak ada tujuan juga."

Alvela tampak menimbang. Ia bukan sedang kencan dengan Raga. Hari ini ia menjadi pemandu wisata dari seorang narapidana yang bebas berkat kekuatan uang sang adik ipar. Ada baiknya ia jujur saja tentang apa yang menjadi maunya. Tiduran, ngemil sambil nonton film, rebahan.

SEHANGAT DIPELUK RAGAWhere stories live. Discover now