41. Tempat Pulang

4.5K 767 47
                                    

Telepon teror dari Novanto mengarahkan Yaffi dan Hangat menuju meubel milik Raga yang sudah ramai dikerubuti massa. Bagian show room tampak masih aman, namun api terlihat membara di area gudang.

Pemadam kebakaran juga tiba, kendaraan mereka langsung masuk melalui gerbang, melaju dari show room, membelah kebun dan taman kecil, lalu berhenti tepat di depan gudang. Sungguh miris, biasanya, yang berhenti di sana adalah truk-truk pengangkut perabotan dari berbagai vendor.

Namun, kini justru truk-truk pemadam kebakaran yang datang karena musibah. Yang masih disyukuri adalah, lokasi gudang tidak merapat ke pemukiman warga. Ada sedikit tanah kosong di samping kanan kiri dan belakang. Sebagai konsekuensinya, listrik mengalami pemadaman di daerah itu untuk meminimalisir hal-hal yang tidak diinginkan.

Hangat dan Yaffi berlari setelah meminta Ekara menjaga adik-adiknya untuk tetap di dalam mobil.

Lutut Hangat bergetar. Di sana, ia melihat Alvela. Duduk terdiam dengan tatapan hampa dalam dekapan seorang perempuan.

Sementara wanita yang ia kenali bernama Seni, masih menangis terisak sambil menatap ke arah gudang.

"Al, kamu nggak papa, Al?" Hangat mendekat, meraih bahu Alvela. Menatapnya dengan penuh kekhawatiran. "Kamu nggak papa?"

Alvela mengangkat wajahnya, lalu bertemu pandang dengan Hangat selama beberapa detik sebelum akhirnya menggelengkan kepala. Perempuan itu terlihat kehilangan jiwanya.

"Mas Raga dan anak Mbak Seni, ada di dalam gudang, Mbak." Maka, Belia yang memutuskan untuk menjawab pertanyaan dari Hangat, perempuan yang tak pernah ia temui sebelumnya.

Yaffi dan Hangat tak lagi lega.

Alvela memang selamat. Alvela tidak menjadi target kejahatan Rafael dan antek-anteknya. Namun, kenapa justru suami Alvela dan anak dari Seni Kaniraras yang ada di dalam gudang sana?

Melihat mata hampa Alvela, membuat hati Yaffi terasa sakit dan jauh lebih berduka. Ia kini sadar sepenuhnya, bahwa Raga adalah jiwa Alvela. Segala-galanya bagi Alvela, dan Yaffi tidak akan membiarkan jiwa itu hilang begitu saja. Maka dari itu, Yaffi berbalik, menatap kobaran api yang masih bergumul di dalam bangunan. Melahap benda-benda di dalamnya. Namun, tidak dipungkiri, lama-lama juga akan melahap semua bangunannya.

Para petugas ahli mulai bersiap memasuki bangunan. Memadamkan, mencari sumber api juga melakukan evakuasi korban.

Sementara di dalam sana, Arayi terbatuk-batuk. "Bhara!!"

Teriakan itu kalah dengan si jago merah.

"Nak! Bhara! Anak papa! Bhara!" Arayi berteriak sambil menyipitkan pandangan. Dengan nekad, dia terus berlari. Api memang membumbung tinggi hingga ke langit-langit ruangan, melahap perabotan-perabotan. Namun setidaknya bangunan gedung yang kokoh itu belum ada tanda-tanda akan ambruk.

Arayi ... berpacu dengan waktu!

Tak lama, ia melihat seseorang berlari dengan tergesa. Menghindari kobaran api, meski sepertinya tubuhnya mulai ada yang dijilat percikan panas itu.

"Bhar!" Arayi memaksakan diri untuk berlari lagi. Keadaannya pun makin lama makin tak baik. Kaki cacatnya, limpa tak sempurnanya, juga dada sesak akibat panas di sekelilingnya, membuat Arayi melemah.

Namun tatkala melihat sosok itu datang dengan menggendong Bhara, Arayi akan terus menguatkan diri.

Tangan Arayi menjulur, meraih bahu Kamael dan mendorong pemuda itu agar terus berlari menuju pintu keluar sambil terus menghindari area-area yang sudah dipenuhi api.

SEHANGAT DIPELUK RAGAWhere stories live. Discover now