10. Cemburu Tak Bertuan

4.5K 799 122
                                    

Menjalani detik-detik kembali ke jeruji besi, rasanya begitu canggung bagi Raga. Sejak ia menikah dengan Alvela, baru dua hari yang lalu ia berani mencium bibir perempuan itu.

Sebagai kejutan, Alvela pun membalas ciumannya.

Setelahnya, tak pernah ada tegur sapa meski mereka seruangan dan berbagi udara yang sama kamar rawat jadi-jadian Raga.

Tak pernah ada yang mencoba bicara meski mata balas menatap mata.

"Kamu baik-baik di luar. Jaga perusahaan kamu dengan maksimal. Jangan sampai bangkrut dan kamu harus bertekuk lutut minta dibantu oleh orang-orang." Raga akhirnya memecah perang dingin di antara keduanya saat sudah tiba di lobi sebuah lapas.

Luka Raga telah membaik. Robek di perut tertutup sempurna.

Namun ada lubang yang masih sedikit menganga di hatinya.

Alvela menatap Raga dengan sengit. "Kamu meremehkan kemampuan saya?"

Raga mendengkus. Ditatapnya Alvela yang berdiri dengan enggan. Bimbang sedikit menyerbu di sanubari Raga. Hubungannya dengan Alvela, apakah akan sebeku itu selamanya?

"Al, selain jaga perusahaan, juga tolong jaga hati kamu. Sekalipun Yaffi menemukan kamu, kalau bukan saya yang membuat kamu sembuh, jangan biarkan laki-laki lain yang melakukannya. " Raga akhirnya mencoba untuk jujur, meski trauma tentang pernikahan itu tetap ada. Namun kini, hanya Alvela yang Raga punya.

"Kehadiran Yaffi nggak akan ngefek apa-apa. Seperti ciuman kamu kemarin, kamu pikir saya akan baper atau seneng? Saya biasa aja, Raga. Saya cuma mau mengikuti permainan kamu." Alvela terkekeh, tangannya bahkan melayang untuk meninju pelan lengan Raga.

Sementara itu, Raga justru merasa ada yang hampa.

"Benar ciuman itu nggak bikin kamu ngerasain apa-apa, Al?" Ditatapnya Alvela dengan serius.

Tapi peduli apa, Alvela malah tergelak menertawai Raga. "Kamu ngarep saya baper?"

Kepala Raga mengangguk pelan. Lalu ia menjawab, "Iya."

"Raga, kamu ingat, kan? Yang membuat saya baper selama bertahun-tahun itu cuma ada dua orang. Hangat dan Seni. Selera saya bukan laki-laki."

Raga mengepalkan tangan. Agaknya ia jadi sedikit dongkol dengan Alvela. Perempuan itu katanya mau tobat, tapi sampai sekarang tak pernah ada itikad untuk merealisasikannya. Omong kosong.

Raga memutuskan untuk berbalik, lalu berjalan begitu saja memasuki lapas.

"Oi, besok mau dibawain makanan nggak?" Alvela yang melihat kegetiran di wajah Raga saat itu terpaksa berteriak. Enak saja, sudah diantar pulang, malah ditinggal tanpa pamit begitu saja. "Dasar napi kulkas!"

Telinga Raga berdengung kecil. Namun ia memutuskan untuk terus melaju, beberapa kali disapa oleh sipir dan berpapasan dengan beberapa warga sipil.

Ketika ia hendak memasuki koridor tahanan, ia bertemu pandang dengan seorang perempuan. Tampaknya pengunjung yang baru saja membesuk. Perempuan itu tampak sendu, meneteskan air mata sambil terus melangkah ke depan.

Namun tepat saat tiba di samping Raga, perempuan itu berhenti, membelalakkan mata dengan kaca-kaca sambil berucap, "Alvela!"

Langkah Raga ikut terhenti. Pria itu menatap sang perempuan dengan heran. Lalu tertegun bagai ditikam pedang saat ia berbalik dan melihat Alvela pun sedang sama terharunya dengan perempuan itu.

SEHANGAT DIPELUK RAGATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang