34: Kehidupan Yang Seperti Ini

3.7K 714 33
                                    

"Hai, Tanteku yang paling cantik!"

Alvela mendengkus, tangannya entah kenapa refleks mengusap perut saat mendengar suara puber Bhara yang melengking memenuhi ruang kerjanya di VETV. Kalau Tuhan memberi rizki dan keajaiban untuknya dan Raga, ia tidak mau nanti anak mereka punya kelakuan yang mirip dengan Bhara.

"Ngapain kamu ke sini?" sapa Alvela dengan jutek.

Bhara tersenyum riang sambil duduk di kursi depan meja Alvela dengan santai. "Aku, kan, talent VETV, masa nggak boleh ketemu Tante."

"Masalahnya, kalau kamu udah senyum-senyum nggak jelas kayak gitu, pasti mau ada yang diminta, kan? Cih!" Alvela berdecak, ia menutup laptop, takut Bhara ngintip-ngintip, kepo, dan bertanya ini itu tanpa henti. "Emak sama anak sama aja, suka manfaatin orang."

"Apaan, sih, aku belum bilang aku ke sini mau ngapain, lho!" Bhara berseru tak terima. Remaja kelas 12 itu merengut sambil menyilangkan tangan di depan dada. Gayanya, sudah seperti bos!

Kali ini, Alvela akui, Bhara adalah Arayi versi muda. Cara berjalan dan duduk anak itu saja bahkan mirip sekali dengan gaya papanya.

"Terus kamu mau ngapain di sini? Jangan aneh-aneh. Tante nggak ada waktu buat ngeladenin bocil gabut kayak kamu."

Bhara menghela napas. Ia lantas mengeluarkan sesuatu dari tasnya, lalu mengambil amplop cokelat dan memperlihatkannya kepada Alvela. "Tante tahu ini apa? Ini adalah gaji pertama aku!"

Alvela terdiam. Ya, whatsoever, Bhar, Bhar!

"Denger nggak Tante aku bilang apa? Ini, gaji pertama aku, Tante!" Suara Bhara melengking lagi.

Bola mata Alvela berputar malas. "Ya, terus Tante harus bilang wow gitu?"

Bhara menggelengkan kepalanya sambil mendesah prihatin. Demi Tuhan, ya, di antara Seni, Alvela, dan Belia, sesungguhnya yang paling adem dan paling keibuan justru Belia.

Heran sekali Bhara, bagaimana bisa Belia tinggal bersama duo singa betina seperti mama dan tantenya selama belasan tahun.

"Gini, lho, Tante. Di sini, ada duit 20 juta. Aku nggak tahu, lho, ya, nominal itu pantas nggak buat bayar talent ganteng dan cute kayak aku ini selama 4 episode. Nanti, aku bakalan survey ke Kak Dimas Back. Berapa bayaran dia sekali syuting acara kuliner. Kalau banyakan dia, aku minta nambah."

Alvela makin tidak berminat mendengarkan Bhara. Perempuan itu meraih hp, membuka ruang pesan di antara dirinya dan Raga dan tersenyum kecil saat Raga menghujaninya dengan chat yang sama berisi pertanyaan tentang dia di mana, sudah makan atau belum, dan imbauan untuk tidak terlalu lelah.

"Masalahnya, aku nggak peduli juga sama bayaran aku, orang duit mama sama papa aku banyak. Cuma, kan, ini uang pertama yang aku pegang tanpa dikasih orang tua. Aku mau make uang ini buat nyenengin mama, Tante." Bhara bersuara lagi, tak peduli Alvela kelihatan cuek.

Namun, siapa yang sangka, begitu mendengar maksud dan tujuan Bhara yang sebenarnya, Alvela segera meletakkan hp. Pesan Raga bahkan tak ia balas. "Buat beli parfum, Bhara. Atau baju. Mama kamu pasti suka."

Bhara tersenyum, dalam hati ia bersyukur Alvela sekarang antusias terhadap keberadaannya.

"Tapi, Tante. Barang-barang kayak gitu udah biasa mama dapetin dari papa. Papa sering banget kasih hadiah buat mama. Mama lagi nggak minta pun papa bawain hadiah. Aku pengen sesuatu yang bikin mama seneng, Tante. Tapi jangan sama kayak barang-barang pemberian papa. Aku nggak mau kembaran sama hadiah-hadiah papa. Males. Kira-kira aku harus kasih apa, Tante?"

SEHANGAT DIPELUK RAGAOnde histórias criam vida. Descubra agora